Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SESAAT setelah tiba di Jerusalem sebagai wartawan Media Indonesia untuk meliput konflik Israel-Palestina pada pertengahan 1987, saya diundang juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel untuk makan siang sederhana.
"Saya ingin mengajak Anda makan falafil, makanan tradisional Israel," katanya dengan bersemangat.
Beberapa hari kemudian, saya makan siang dengan seorang mahasiswa Universitas Bierzeit di Ramallah dan lagi-lagi dengan bersemangat saya melahap falafil.
Saya menjelaskan kepada Hateem, mahasiswa itu, dua hari lalu saya diajak makan siang jubir Kemenlu Israel, yang mengatakan falafil ini makanan tradisional Israel.
Hateem menghentikan mengunyah falafil dan menatap saya dengan serius. "Lihat," katanya. "Orang Yahudi tersebut, setelah mengambil tanah kami, kini makanan kami pun mau diambilnya."
Seakan Hateem melihat strategi gradual Israel, mereka satu per satu akan menggerogoti kaum Palestina dengan semua milik mereka. Milik paling berharga kaum Palestina terakhir ialah Jerusalem.
Kini, kota yang paling dalam akarnya terhujam dalam sejarah dan jiwa mereka pun terancam lepas kepada Israel tanpa susah payah.
Tidak seperti lepasnya tanah Palestina pada 1948 yang berujung pada terbentuknya negara Israel, yang harus melalui perang yang merenggut nyawa cukup banyak dari kedua belah pihak.
Juga tidak seperti hilangnya kedaulatan Palestina atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Aneksasi Tepi Barat dan Jalur Gaza terjadi setelah melalui pertempuran dahsyat yang dikenal sebagai Perang Yom Kippur, yang juga banyak memakan korban dari kedua belah pihak.
Jatuhnya Jerusalem kini bukan melalui pertempuran yang dahsyat, yang memberikan kesempatan kepada pemuda Palestina untuk bisa tercatat sebagai pahlawan yang selalu dikenang. Atau melalui meja perundingan yang melelahkan dan berlarut-larut di bawah sorotan mata miliaran warga dunia.
Aset kudus bangsa Palestina itu menjadi milik Israel hanya dengan satu kalimat pendek 'Kedubes Amerika diputuskan pindah dari Tel Aviv ke Jerusalem' dari seorang nun jauh di sana; Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang bahkan oleh bangsanya sendiri tidak terlalu dihormati.
Apakah keputusan presiden agak aneh ini mengejutkan? Sebenarnya 400 ribu orang Arab di Jerusalem Timur, 2 juta Arab di Palestina, 400 juta jiwa warga Timur Tengah, dan 1,2 miliar muslim di seluruh dunia menyadari gelagat itu.
Dalam beberapa hari sebelum keputusan Trump tersebut, dua keputusan anti-Palestina diputuskan. Pertama, pemerintah Trump menolak memperbarui misi PLO di Washington. Kedua, Kongres AS mengesahkan Taylor Force Act, akta yang menolak mendanai lebih lanjut pemerintah Palestina dengan alasan dana tersebut digunakan mendukung keluarga dan narapidana Pa-lestina dalam penjara Israel.
Kini kita akan melihat dengan kebat-kebit apa yang akan terjadi ekor dari keputusan Trump itu. Hampir tidak ada pihak di dunia yang mendukung sikap tersebut. Sekutu AS di Eropa, semua mengecam posisi ekstrem ini. Hanya dua kelompok kecil di AS yang mendukung penuh keputusan itu, yaitu Zionis Kristen dan pelobi pro-Israel.
Di Israel banyak yang menolak upaya AS mendikte posisi hawkis-nya terhadap kawasan itu. Sebanyak 25 tokoh terkemuka Israel yang di dalamnya termasuk mantan diplomat, sejumlah jenderal angkatan bersenjata, dan para akademisi mengecam dan menentang sikap unilateral AS untuk Jerusalem.
Mereka menyatakan 'status Jerusalem, kota tempat rumah suci tiga agama monoteistik, yang terbentang inti konflik Israel-Palestina, masa depannya harus diputuskan dalam konteks penyelesaian konflik'.
Para pengamat pun ragu pemerintah dan militer Israel sepenuhnya mendukung perubahan drastis tentang Jerusalem. Mereka lebih menyukai penyelesaian status Jerusalem melalui meja perundingan berdasarkan prinsip-prinsip adil dan proporsional.
Trump yang setiap hari membuat keputusan kontroversial terhadap rakyatnya dan negara lain telah melemparkan bom ke tengah gelanggang. Pertanyaannya, siapa dan bagaimana cara menjinakkannya. Seharusnya seluruh negara yang mayoritas berpenduduk muslim harus bereaksi. Tinjau kembali hubungan dengan Amerika.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved