Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
DALAM sejarahnya, bumi Nusantara banyak melahirkan anak bangsa yang berjiwa kesatria dan negarawan. Bahkan, bisa dibilang melimpah, jauh sebelum negara indah ini diproklamasikan. Namun, entah kenapa, kini negeri yang subur ini sudah terlalu lama dilanda paceklik negarawan.
Banyak jabatan tinggi negara yang diduduki orang-orang kerdil dan tidak bermartabat. Pada umumnya mereka hanyalah para pengabdi dirinya. Ciri lainnya, tidak memiliki etika dan moral sehingga sikap dan perilakunya serbatidak jujur. Mereka pun tidak taat hukum. Malah, dengan kekuasaan dan kekayaan, mereka menantang hukum.
Pertanyaannya, bagaimana masa depan bangsa dan negara bila sebagian besar pangembating praja (pejabat negara) bukan para negarawan?
Menjaga matra bumi
Bila dunia wayang ditengok, cukup banyak kisah tokoh yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan tentang negarawan. Mereka para titah yang sudah selesai dengan dirinya. Wataknya ikhlas mengorbankan jiwa raganya untuk kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini, demi kejayaan bangsa dan negara yang dicintai.
Salah satu di antara mereka ialah Anantareja alias Antareja. Ia bukan hanya mempersembahkan tenaga, harta dan benda, melainkan juga ‘barang’ yang paling bernilai, yakni roh atau jiwanya. Dengan penuh kesadaran, ia mencabut sukmanya semata demi kejayaan Pandawa (Amarta).
Antareja merupakan putra tertua Werkudara yang lahir dari rahim Dewi Nagagini, putri Bathara Antaboga, penghuni Kahyangan Saptapratala. Ia memiliki dua saudara muda kandung lain ibu, yakni Gathotkaca dan Antasena. Tempat tinggalnya di Kesatrian Jangkarbumi.
Dalam seni pedalangan, Antareja dikenal sebagai kesatria pendiam yang sakti mandraguna. Ia memiliki pusaka cincin Mustika Bumi pemberian ibundanya. Aji-aji itu bisa untuk menghidupkan orang meninggal yang belum kodratnya. Kisah ini, misalnya, bisa disimak dalam lakon Sumbadra Larung. Sumbadra alias Bratajaya, yang tewas di tangan Burisrawa tanpa sengaja, jantungnya bisa berdetak lagi setelah disentuh dengan ali-ali tersebut.
Antareja juga memiliki ajian Napakawaca yang melekat pada sekujur tubuhnya. Daya kesaktiannya, ia tidak mempan oleh senjata tajam jenis apa pun. Masih ada lagi, air liurnya beracun. Apa pun yang terkenanya pasti melepuh. Yang menggiriskan, ia mampu melenyapkan musuh dalam sekejap hanya dengan menjilat bekas telapak kaki yang bersangkutan.
Sebagai anggota keluarga putra Pandawa, Antareja memiliki tugas menjaga keamanan dan ketenteraman negara Amarta. Ia memikul tanggung jawab tersebut bersama kedua adiknya serta saudara sepupu, terutama para putra pamannya, Arjuna, seperti Abimanyu dan Wisanggeni. Antareja membentengi negara pada matra perut bumi. Ia memiliki keistimewaan mampu ambles dan hidup normal di dalam tanah.
Wataknya, Antareja selalu berkeinginan tampil terdepan dalam setiap misi pengabdian. Maka, ketika Amarta mengumumkan Gathotkaca sebagai panglima perang, Antareja sempat masygul. Tapi, setelah diberi pencerahan oleh bapaknya, ia bisa menerima dan kembali konsisten pada perjuangannya meski tanpa menduduki jabatan strategis.Pembuktian hukum jagat.
Namun, darma baktinya yang tulus dan ikhlas tidak selamanya mulus. Terutama, pada keinginan besarnya menjadi pasukan garda terdepan dalam kancah Bharatayuda di Kurusetra. Ini perang antara Pandawa dan Kurawa yang sama-sama trah Kresnadwipayana alias Abiyasa.
Sri Bathara Kresna yang mengandaskannya. Botoh Pandawa ini mewejang Antareja untuk tidak terjun ke palagan. Malah, demi kemenangan Pandawa (Amarta), Antareja diharuskan berkorban dengan meninggalkan dunia fana ini sebelum perang suci tersebut pecah.
Semula, Antareja bingung. Ia tidak mengerti dengan perintah pepundennya tersebut. Tapi, setelah dijelaskan Kresna, ia menerima dan melakukannya dengan legawa. Antareja mengakhiri hidupnya dengan cara menjilat bekas telapak kakinya. Ia kembali ke jagat kelanggengan tanpa beban apa pun.
Kresna terpaksa mengorbankan Antareja karena itu jalan untuk mengejawantahkan skenario dewa tentang penyelesaian akhir perseteruan Pandawa-Kurawa. Bahwa, kezaliman harus tumbang di kaki kebenaran. Kurawa yang melambangkan kezaliman harus sirna oleh kebenaran yang disimbolkan pada Pandawa.
Meski ini sepenuhnya skenario dewa, Kresna ikut campur tangan, khususnya pada nasib Antareja. Semula, Dewa Penyarikan, sekretaris Kahyangan, menulis bahwa dalam Bharatayuda, Antareja berhadapan dengan Baladewa (berpihak Kurawa) yang adalah kakak Kresna.
Tapi, rencana itu akhirnya dibatalkan Raja Kahyangan Bathara Manikmaya atas permohonan Kresna. Sebagai barternya, Kresna diharuskan mengembalikan pusakanya, kembang Wijayakusuma. Manikmaya lalu memasrahkan kepada Kresna tentang jalan kisah Baladewa dan Antareja dalam panggung Bharatayuda tersebut.
Kresna lalu meminta kakaknya bertapa di tempat yang jauh dari Kurusetra. Ia mengakalinya dengan memanfaatkan momentum ketika Baladewa kehilangan pusaka Nenggala akibat kecerobohannya. Untuk mendapatkan kembali pusaka itu, Baladewa harus menebus dengan tapa brata seraya meminta pengampunan Sanghyang Widi.
Kresna mengatakan akan memberi tahu Baladewa bila Bharatayuda terjadi. Ini sesuai dengan keinginan Raja Mandura itu untuk mengetahui langsung perang tersebut. Tapi, kenyataannya, Baladewa bangun dari semadinya ketika Bharatayuda tinggal menyisakan Duryudana di pihak Kurawa.
Pengorbanan jiwa
Bila Baladewa disingkirkan, Antareja ‘dimatikan’. Jika tidak, Antareja justru akan mengacaukan Bharatayuda. Bukan hanya Kurawa yang akan lenyap tetapi Pandawa juga akan habis. Bilamana itu terjadi, hukum jagat bahwa kezaliman tumbang melawan kebenaran tidak akan tereksekusi.
Dengan kesaktiannya, Antareja bisa menghabisi siapa saja hanya dengan menjilat bekas telapak kakinya. Masalahnya, bagaimana ia bisa membedakan telapak kaki yang satu dengan lainnya. Mana milik musuh dan mana punya Pandawa. Inilah yang dikhawatirkan memunculkan kekacauan.
Hikmahnya, kita bisa belajar dari sisi jiwa kesatria dan pengorbanan Antareja. Ia bukan pejabat tinggi Amarta, melainkan hanya aparat biasa. Namun, Antareja memiliki etika, moral, dan tanggung jawab. Pengorbanannya bagi tegaknya kebenaran (Pandawa) tiada tara.(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved