Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
LEMBAGA keagamaan mempunyai tanggung jawab moral dan perhatian khusus atas penggunaan media sosial (medsos). Paling tidak selama tiga bulan ini, September-November, mereka menggelar rangkaian pelatihan literasi medsos bagi kaum muda di berbagai kota atau lokasi. Tujuannya agar kaum muda paham betul cara bermedsos ria secara baik dan benar, serta tidak terperosok ke jerat radikalisme dan aksi terorisme.
Lembaga-lembaga agama itu menyelenggarakan pelatihan medsos bekerja sama dengan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kemenkominfo. MUI, misalnya, menggelar pelatihan di 16 kota atau lokasi. KWI dan PGI masing-masing mengadakan latihan di tujuh kota. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Parisada Hindu Dharma masing-masing di lima kota. Sementara itu kelompok antariman akan menggelar pelatihan medsos di lima kota.
Tujuan pelatihan, yang rata-rata diikuti 100-an peserta per kota itu, antara lain untuk membuka wawasan dalam bermedsos. Peserta diperkenalkan dengan berbagai teknik dan cara mempergunakan serta memproduksi konten medsos. Selain itu, mereka diajak mengenali seluk-beluk medsos seperti informasi bohong (hoaks), berita palsu, dll.
Peserta dilatih mengenali berbagai tata cara bermedsos, baik yang berkaitan dengan etika berkomunikasi lewat medsos maupun ketentuan hukum atau UU yang melandasinya.
Dalam kaitan dengan bermedsos itu, MUI menerbitkan fatwa No 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman dalam Bermuamalah melalui Media Sosial. Bermuamalah adalah proses berinteraksi antarindividu atau dengan kelompok. Dalam kaitan dengan medsos, MUI mengharamkan sejumlah hal, di antaranya gibah (penyampaian informasi tentang orang atau kelompok yang tidak disukai), fitnah (informasi bohong yang disebarkan untuk menjelekkan orang lain), namimah (adu domba atas seseorang atau kelompok), bullying, dan ujaran kebencian dan permusuhan yang berkaitan dengan SARA lewat medsos.
MUI dalam fatwanya melarang penyebaran berita bohong (hoaks), konten pornografi dan kemaksiatan, termasuk menyebarkan konten yang tidak tepat tempat dan waktunya. MUI juga mengharamkan penyebaran konten informasi dengan maksud menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. Aktivitas buzzer yang memproduksi dan menyebarkan berita hoaks, gibah, fitnah, ujaran kebencian, dan lain-lain juga diharamkan.
Sementara itu, KWI menerbitkan buku Panduan Penggunaan Medsos, dan mengingatkan agar umat benar-benar paham etika berkomunikasi, berinteraksi, dan pembuatan konten yang disebarkan lewat medsos. Karena moralitas menjadi otoritas lembaga keagamaan, etika bermedsos menjadi tekanan dalam buku itu. KWI juga mengharapkan gereja lokal seperti keuskupan-keuskupan, paroki, dan lembaga-lembaga di lingkungannya membuat panduan bermedsos yang sesuai situasi dan kondisi umatnya. Misalnya apa yang dibolehkan dan dilarang disebarkan di medsos. Gereja setempat bisa pula menetapkan pedoman usia berapa anak-anak boleh menjadi pengguna medsos. Bahkan keuskupan bisa pula menetapkan 'aksi puasa tanpa HP' pada jam-jam tertentu.
Radikalisme siber
Seperti disebut di atas, salah satu tujuan kerja sama lembaga keagamaan dan Ditjen IKP ialah menanggulangi penyebaran radikalisme, terorisme, fitnah, ujaran kebencian, dll lewat medsos. Lembaga keagamaan memiliki peran strategis mencegah dan menyadarkan kaum muda agar tidak terjebak paham radikalisme, terorisme, dan gerakan yang mengancam keselamatan bangsa.
Kelompok radikal bisa saja muncul dari berbagai agama. Namun, tugas utama lembaga keagamaan ialah menanamkan dan menyadarkan nilai-nilai moral atau etika untuk bermedsos secara baik dan benar. Menurut laporan Ditjen IKP, jumlah media daring 2.011, lebih besar jika dibandingkan dengan media massa mainstream. Yang menarik, jumlah handphone yang beredar di Indonesia 374 juta, lebih besar (142%) daripada jumlah penduduk (262 juta). Pengguna internet 132,7 juta (51,3%), sementara pengguna medsos aktif 106 juta orang atau 40%. Angka yang disebut terakhir itu layak diperhatikan karena dari pengguna medsos itulah dugaan munculnya radikalisme, terorisme, dan kejahatan siber.
Konten negatif yang paling banyak tersiar lewat medsos ialah hoaks, disusul radikalisme, kekerasan, pornografi, hedonisme, konsumerisme, narsis, dll. Menurut temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), rata-rata usia teroris masih muda. Lewat medsos, mereka direkrut, di-brain wash, diajari merakit bom sampai melaksanakan tugas aksi bom bunuh diri. Sebut saja aksi terorisme bom Thamrin (2016), bom Solo,(2011) dan bom Mega Kuningan (2009).
Penyebaran paham radikalisme lewat dunia maya itu sebenarnya sudah terpantau aparat pemerintah. Menurut data Kementerian Kominfo, ada 814.594 situs internet dengan kategori negatif dan menyebarkan paham radikalisme, yang langsung dilakukan pemblokiran pada 2010-2015. Setelah peristiwa bom Thamrin (14/1/2016) ditemukan lagi 27 situs radikal yang langsung diblokir.
Pasal yang dipakai untuk pemblokiran ialah UU ITE tentang larangan penyebaran informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu atau kelompok masyarakat yang berkaitan SARA. Pelaku bisa dijerat ancaman pidana enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Lembaga keagamaan memiliki hubungan khusus dengan kaum muda. Agar mereka tidak terperangkap masuk paham radikalisme atau melakukan aksi teror lewat medsos, perlu pendampingan secara kontinu.
Tanggung jawab lembaga keagamaan ialah membina dan menyadarkan agar para pengguna menaati etika bermedsos. Apa yang disiarkan dalam medsos harus mengandung kebaikan dan kebenaran demi kepentingan umum. Selain itu, mereka mesti mentaati hukum yang berlaku dalam medsos.
Aksi medsos ialah membuat, mengomentari, dan membagikan. Kegiatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik diatur dalam Pasal 27 UU ITE.
Konten medsos, dalam pasal itu, tidak boleh mengandung ujaran kebencian, fitnah, mencemarkan nama baik, pornografi atau asusila, memberikan ancaman dan informasi yang memecah persatuan bangsa dengan menyinggung masalah SARA. Masalah etika dalam bermedsos dan pemahaman perundangan yang berlaku tidak bisa dalam satu-dua hari pelatihan. Lembaga keagamaan berkewajiban terus-menerus melakukan penyadaran agar muatan yang disebarkan lewat medsos selalu positif dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Lembaga keagamaan seyogianya senantiasa mengayomi kaum muda dalam bermedsos agar tak terjerat gerakan radikalisme dan terorisme. Mereka didampingi dan disadarkan untuk bermedsos dengan baik dan benar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved