Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Mengakhiri Polemik Divestasi Freeport

Effnu Subiyanto Peneliti, Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis, Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
04/10/2017 00:02
Mengakhiri Polemik Divestasi Freeport
(Antara)

PT Freeport Indonesia (PTFI) akhirnya tetap berkukuh menolak proposal Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan divestasi 51% sebelum 2017 ini berakhir. Surat CEO Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson pada 28 September 2017 yang viral di media sosial berintikan 4 penolakan PTFI dan 1 mengenai permintaan due diligence yang dijawab sedang disiapkan PTFI.

Empat jawaban penentangan oleh raksasa pengeruk kekayaan alam emas dari tanah Papua itu ialah tidak ada ketentuan divestasi, valuasi harga saham 51% harus mengacu nilai manfaat sampai 2041, penolakan upaya Indonesia soal penerbitan saham baru, dan porsi 51% produksi juga harus menghitung sampai 2041 bukan 2021.Surat CEO Freeport itu ada yang benar dan sebagian keliru jika membaca perjanjian kontrak karya (KK) II pada 30 Desember 1991 yang berlaku sampai 30 tahun itu. Pada Pasal 24 ayat 2 butir (b) harfiah kata divestasi memang tidak ada karena perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu. Namun, substansi divestasi atau pelepasan saham sangat jelas ada bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan saham PTFI untuk kepentingan Indonesia (Indonesian National). Definisi Indonesian National pun disebutkan yaitu WNI, badan hukum dikontrol WNI, dan bahkan pemerintah Indonesia.

Dalam Pasal 24.2.b itu, Adkerson perlu diingatkan kembali bahwa PTFI sejak KK II berulang tahun ke-10 atau tahun 2001, setahun berikutnya saham minimal 2,5% per tahun harus diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Total selama 10 tahun sejak 2001 harus minimal 45% saham dilepas dan minimal 20% di BEI. Jika dua kewajiban itu tidak dipenuhi, sejumlah 51% saham harus diserahkan ke pemerintah RI sebelum ulang tahun ke-20 sejak tanda-tangan KK II.

PTFI sampai saat ini tidak pernah berniat listing di BEI, artinya pada 2011 atau 6 tahun yang lalu, total 51% saham PTFI seharusnya di tangan pemerintah Indonesia. Bahkan sebelum rezim izin usaha pertambangan khusus (IUPK) diberlakukan karena amanat PP No: 1/2017, porsi 51% milik NKRI seharusnya selesai dan tidak berkepanjangan sampai saat ini.

Adkerson memang benar bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat 2, masa berlaku KK II memang sampai 30 tahun atau berakhir di 29 Desember 2021 dan mendapatkan hak diskresi perpanjangan 2 kali 10 tahun sehingga KK II tersebut secara implisit berakhir 2041. Namun, kapan surat resmi PTFI memohon perpanjangan 20 tahun disampaikan ke Kementerian ESDM. Jika ada bukti materialnya sebelum 2011, jelas hak perpanjangan 20 tahun itu menjadi muncul dan perhitungan manfaat dan ekonomisnya harus sampai 2041.

Solusi
Penyelesaian masalah divestasi 51% PTFI sebetulnya tidak terlalu rumit jika tertib hukum Kementerian ESDM sempurna dan dilandasi semangat tidak mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi. Pada masa KK I sudah jelas bahwa kepentingan pribadi dan kelompok tertentu mengambil manfaat maksimal dari ketidakterbukaan KK. Ini di antaranya yang meningkatkan friksi kebangsaan dan persatuan dari tanah Papua.

Ninabobo kenikmatan KK I membuat bangsa ini lengah, perampokan kekayaan SDA Papua berlangsung makin marak karena banyaknya ekonomi rente yang meminta bagian dan kini baru sadar bahwa Kementerian ESDM pun tidak siap menghadapi potensi perselisihan KK II. Termasuk di dalamnya segunung kewajiban KK II tidak dijalankan PTFI pun, Jakarta terdiam seribu bahasa.

Kini satu padu untuk kepentingan bangsa Indonesia NKRI harus dideklarasikan. KK II tidak boleh lepas untuk kesekian kalinya menjadikan negeri pemilik Papua hanya menjadi penonton dan pecundang. KK II harus untuk seluruh rakyat Indonesia.

Cara yang ringkas dan legal karena berdasarkan KK II pada 30 Desember 1991 ialah kembali kepada pemahaman KK II seolah rezim IUP atau IUPK belum ada. Harus dicari jejak pemenuhan klausul KK II PTFI sejak 2002 sampai dengan 2011. Tahun 2011 adalah harga mati karena PTFI melanggar KK II dengan tidak di BEI Jakarta, 51% menjadi hak NKRI. Sejak laporan keuangan PTFI pada 2012, argo kepemilikan saham 51% harus sudah berjalan menjadi hak NKRI dengan seluruh hak yang melekat sebagai pemegang saham mayoritas sampai saat ini.Berdasarkan laporan keuangan PTFI, nilai laba bersih tahun lalu Rp21,3 triliun, sebelumnya Rp11,3 triliun (2015), Rp11 triliun (2014), US$1,5 miliar (2013), dan laba bersih US$1,3 miliar (2012). Dengan saham NKRI 51% pada PTFI, akan dapat dengan mudah dihitung bagian laba bersih yang menjadi hak bangsa ini.

Beberapa waktu lalu, PTFI secara eksplisit meminta harga divestasi saham mengacu harga pasar atau fair market value dengan konsekuensi mengacu pendapatan dengan memasukkan cadangan yang dimiliki sampai dengan 2041. Nilai estimasi harga saham 51% dari hitungan PTFI adalah US$8,1 miliar (Rp110 triliun). Nilai saham 51% PTFI sebetulnya bukan menjadi soal jika mengingat hanya dari BPJS Ketenagakerjaan saja saat ini memiliki akumulasi nilai dana kelolaan Rp293,54 triliun.

Lembaga milik seluruh tenaga kerja Indonesia itu menyatakan siap mengambil alih hak saham pemerintah, bahkan PTFI pun sanggup dibeli secara keseluruhan. Betapapun harus dicek kapan surat resmi PTFI permintaan perpanjangan kontrak 20 tahun, ada atau tidak pernah ada. Uji forensik harus dilakukan setiap surat resmi PTFI untuk mencegah manipulasi secara administratif.

Perlu dikompensasikan dan dipertimbangkan pula bahwa PTFI masih menunggak dividen sejak 2012 dan mangkir membayar royalti sejak 2015. Perkembangan smelter yang dijanjikan PTFI pun sangat lambat karena baru 14%. Artinya jika PTFI meminta diskresi pembebasan bea keluar (BK) ekspor konsentrat jelas tidak mungkin. Berdasarkan PMK No: 13/PMK.010/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenai Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, karena perkembangan fisik smelter baru 14%, tarif BK konsentrat adalah 7,5%.

Hal-hal seperti ini termasuk PHK kepada karyawan asal WNI mencapai 4.000 tenaga kerja sejak Februari 2017 harus dimintakan pertanggungjawaban kepada PTFI dalam bentuk hitungan ekonomi 51% saham PTFI.

Sudah begitu lama PTFI dan Freeport McMoran membodohi NKRI, semoga hal itu tidak terjadi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Jika masih terjadi, habislah martabat bangsa ini dan NKRI menjadi barang mainan korporasi besar yang sebetulnya dari hasil operasi di Tanah Air ini bertahun-tahun. Kau jual, NKRI beli!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya