Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
STUDI tentang sejarah hukum Islam memperkenalkan sedikitnya empat jenis produk pemikiran hukum Islam, yaitu fatwa, kitab-kitab fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri muslim. Semua jenis produk pemikiran hukum Islam itu, termasuk fatwa dalam perumusannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh faktor sosial-budaya dan faktor sosial-politik. Setiap fatwa tidak lahir di ruang hampa.
Begitu pula dengan fatwa MUI, selalu muncul sebagai respons terhadap problem sosial yang terjadi di masyarakat dan perumusan fatwa itu kemudian dipengaruhi kondisi sosiokultural dan sosiopolitik serta pandangan keagamaan para ulama yang merumuskannya.
Selain itu juga pengaruh intervensi pemerintah sehingga ada kesan MUI tidak independen seperti fatwa tentang KB (1983); Miqat Haji dan Umrah (1981); Memakan Daging Kelinci (1983), Panti Pijat (1982); dan tentang Prosedur Perkawinan (1996).
Hukum Islam pada dasarnya merupakan produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dan lingkungan sosialnya. Meskipun Alquran dan hadis mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu, para ulama melakukan ijtihad, menggunakan akal mereka dan hasilnya ialah produk pemikiran hukum yang antara lain mengambil bentuk fatwa.
Apakah warna atau bentuk produk pemikiran hukum akan kita biarkan seperti apa adanya sekarang ini, tergantung kepada keberanian para pemikir hukum Islam di masa sekarang. Perlu diingatkan bahwa perpindahan seseorang atau masyarakat dari suatu produk pemikiran hukum kepada produk pemikiran hukum lainnya tidaklah berarti bahwa orang itu atau masyarakat itu keluar dari hukum Islam.
Hukum Islam Indonesia
Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua bentuk, hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang pertama menggunakan pendekatan kultural, sedangkan yang kedua menggunakan penghampiran struktural. Hukum Islam dalam bentuk kedua itu pun proses legislasinya menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara formal untuk umat Islam, seperti UU Pengadilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan UU Pengelolaan Zakat.
Kedua, materi-materi hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam secara formal, seperti UU Perkawinan yang dibuat 1974. Fatwa sesungguhnya dapat digolongkan sebagai hukum normatif karena fatwa MUI meskipun tidak mengikat secara hukum, namun kenyataannya selalu menjadi pedoman berperilaku bagi umat Islam Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah. Bahkan, pada masa Orba fatwa MUI identik dengan suara pemerintah. Hal itu diakui MUI. Fatwa MUI merupakan hasil seleksi dari fikih yang berwatak khilafiyah (mengandung perbedaan pendapat), yang oleh Nabi dipandang sebagai rahmat.
Akan tetapi, karena mengingat bahwa pada umumnya fatwa MUI dijadikan pedoman oleh pemerintah, satu hal yang harus kita sadari bersama bahwa dalam soal-soal kemasyarakatan, pemerintah diberi hak oleh hukum Islam untuk memilih suatu pendapat yang paling membawa kemaslahatan sekalipun dalilnya lemah, dan memberlakukannya kepada seluruh masyarakat, karena mazhab pemerintah adalah kemaslahatan.
Apa yang telah ditetapkan pemerintah ini mengikat bagi umat Islam di wilayah pemerintahannya dan wajib mematuhinya. Pemerintah boleh memilih satu pendapat tertentu yang dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam konteks inilah diperlukan fatwa. Fatwa MUI dibuat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah, dan umat Islam yang merupakan kelompok mayoritas, diharapkan menerima dan melaksanakan fatwa itu sebagai bagian kepatuhan mereka terhadap pemerintah atau ulil amri.
Menarik bahwa meskipun MUI mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan umat, namun umat hanya boleh mempraktikkan satu pandangan keagamaan saja. Dengan demikian MUI telah melakukan upaya penyeragaman pendapat dalam agama, walau dimaksudkan untuk alasan kemaslahatan. Tentu saja kebijakan MUI itu memunculkan pertanyaan kritis, apakah pandangan keagamaan yang dipilih pemerintah kemudian dilegitimasi MUI mewakili atau mencerminkan aspirasi masyarakat luas dan dibuat semata-mata untuk kepentingan publik? Ataukah hanya dibuat untuk membela kepentingan segelintir elite yang berkuasa?
Pertanyaan seperti itu wajar mengingat dalam perumusan suatu fatwa, MUI hampir tidak pernah melibatkan partisipasi umat Islam secara luas. Apalagi dalam perumusan fatwa menyangkut perempuan. MUI sama sekali tidak mendengarkan pengalaman, aspirasi, dan kebutuhan kaum perempuan sehingga tidak heran jika hasilnya sangat jauh dari menguntungkan kaum perempuan, seperti fatwa tentang iddah wafat.
Organisasi MUI
MUI merupakan wadah musyawarah para ulama, umara (pemerintah), dan cendekiawan muslim. Visi lembaga ini ialah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama, zuama, dan cendekiawan muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam. Kegiatan yang dilakukan, antara lain memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat.
Organisasi MUI memiliki kepengurusan dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa di seluruh Indonesia. MUI tingkat Pusat mempunyai 10 komisi, salah satu di antaranya Komisi Fatwa. Komisi ini secara khusus mengkaji berbagai isu yang muncul di kalangan umat Islam berkenaan dengan masalah keagamaan dan kemasyarakatan, baik yang bersifat nasional maupun internasional, dan hasil kajian itu selanjutnya dirumuskan dalam bentuk fatwa.
Masalah-masalah keagamaan paling banyak mendapat respons dari MUI dalam bentuk fatwa adalah problem sosial kemasyarakatan, seperti masalah-masalah Perkawinan, Adopsi Anak, KB, Panti Pijat, HIV/AIDS, Perjudian, dan Reksadana Syariah. Setelah 1997, fatwa-fatwa MUI lebih banyak menyoroti produk halal berupa makanan, minuman, obat, dan kosmetik.selain itu juga fatwa-fatwa menyangkut masalah ekonomi atau fikih muamalah, seperti fatwa tentang Giro, fatwa tentang Tabungan, fatwa tentang Asuransi Haji, dan fatwa tentang Pasar Modal.
Belakangan ini sejumlah fatwa kontroversial telah mengambil perhatian masyarakat luas. Media pun ikut meramaikan kontroversi isi fatwa itu. Tidak banyak yang tahu bahwa fatwa-fatwa itu bukan hanya kontroversial dalam dirinya, melainkan juga mengundang kesalahpahaman umat terhadap esensi fatwa itu sendiri.
Proporsional
Islam tidak mengenal tatanan hierarki dalam pandangan keagamaan seperti dijumpai dalam agama lain, misalnya Katolik. Karena itu, tidak ada satu pun pandangan keagamaan meski dibuat ulama atau lembaga sekaliber apa pun yang dapat mengikat semua umat Islam. Bahkan, tidak mengikat siapa pun, termasuk orang atau lembaga yang meminta fatwa itu sendiri.
Terdapat persepsi keliru dalam masyarakat bahwa begitu sebuah fatwa dikeluarkan, lalu otomatis semua muslim wajib mengikutinya. Perlu dicatat bahwa dalam masyarakat muslim Sunni dikenal sedikitnya empat mazhab fikih, Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Adapun dalam masyarakat Syiah dikenal juga beragam mazhab, seperti Ja’fari, Ismaili, and Zadiyah. Bahkan, dalam setiap mazhab itu dijumpai beragam pandangan terhadap pelbagai isu keagamaan.
Para imam mazhab yang pandangan keagamaannya menjadi acuan penetapan hukum Islam memiliki sikap tawadu’ rendah hati dan tidak arogan. Mereka semua menolak keinginan pengikutnya untuk menjadikan pandangan keagamaannya sebagai kebenaran absolut. Imam Hanafi mengatakan, jika ada dua orang memiliki pendapat berbeda dengan pandangan beliau, beliau mempersilakan mengambil pendapat dua orang itu dan meninggalkan pendapatnya. Alasannya, sangat simpel, mereka dua orang dan beliau hanya sendirian.
Imam Ahmad ibn Hanbal bahkan menolak keinginan pemerintah Daulah Abbasiyah menjadikan bukunya sebagai pegangan hukum yang resmi dalam dinasti itu. Beliau juga menolak untuk diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-qudhat).
Penolakan para imam itu bertujuan agar atmosfer kebebasan beropini di kalangan umat Islam tetap terpelihara. Jika para ulama terkemuka itu menolak perlakuan istimewa sekaligus pemberhalaan terhadap pandangan mereka, lalu bagaimana dengan ulama lain yang mengklaim pandangan mereka sebagai final serta menginginkan agar pandangan keislaman mereka bersifat mengikat semua muslim?
Persoalan pokok dalam fatwa ialah karena umumnya hanya didasarkan pada aspek tekstual teks-teks suci Alquran dan hadis, tapi kurang mengungkap aspek kontekstual berupa kondisi sosiologis, psikologis, dan antropologis masyarakat saat fatwa itu dibuat. Membaca beragam pandangan keagamaan imam mazhab, seperti Abu Hanifa, beliau menghabiskan banyak waktu untuk meneliti kondisi sosiologis masyarakat sebelum mengeluarkan fatwa atau opini terkait suatu isu keagamaan.
Isu perempuan
Menarik dikritisi bahwa menyangkut isu perempuan dan perkawinan ditemukan sejumlah fatwa MUI, namun tidak demikian halnya dengan isu ketidakadilan atau ketimpangan gender yang banyak dialami perempuan Indonesia. Membahas berbagai isu perempuan, seperti perdagangan perempuan dan anak, perempuan pekerja migran, prostitusi, poligami, perkawinan anak dan perkawinan kontrak akan tiba pada kesimpulan sangat merugikan perempuan dan anak-anak, serta membawa malapetaka bagi masyarakat.
Untuk sejumlah problem sosial yang disebutkan tadi sampai sekarang belum ada fatwanya. Sangat disayangkan mengapa MUI tidak membuat fatwa untuk merespons isu-isu krusial itu, seperti fatwa tentang haramnya mengeksploitasi perempuan dalam bentuk perkosaan, trafficking dan sejenisnya. Atau fatwa tentang haramnya poligami karena telah menimbulkan banyak kasus pelanggaran terhadap hak istri dan anak-anak, dan sangat berpotensi mendorong perilaku korupsi dan penyalahgunaan jabatan di lingkungan penguasa.
Bukankah hal itu merupakan problem serius bagi bangsa ini? Fatwa MUI diharapkan karena dinilai efektif untuk mendorong kesadaran moral pemerintah melahirkan kebijakan yang lebih humanis dan dijadikan acuan konkret dalam mengeliminasi semua bentuk eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Fatwa-fatwa MUI tentang perkawinan menjadi sandungan bagi para aktivis dan pejuang kesetaraan dan keadilan gender untuk mengusulkan revisi Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebab, keduanya dinilai mengekalkan pandangan fikih yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki yang menyumbang kondisi ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat.
Pandangan yang bias dalam UUP dan KHI, antara lain menyangkut definisi sahnya perkawinan, batas minimal usia nikah bagi perempuan, masalah wali nikah, saksi nikah, hak dan kewajiban suami istri, nusyuz, poligami, perkawinan beda agama, perceraian, dan masalah iddah. Karena fatwa MUI melegitimasi UUP dan KHI, berarti ia meneguhkan posisi marginal dan subordinatif perempuan dalam masyarakat. Dan hal itu tidak kondusif bagi upaya penegakan demokrasi dan nilai-nilai HAM, serta penguatan civil society di Indonesia.
Nihilnya fatwa MUI menyangkut isu-isu krusial tadi menyimpulkan empat hal. Pertama, ulama yang tergabung dalam MUI pada umumnya tidak memiliki sensitivitas dan kepekaan yang tinggi terhadap berbagai isu kontemporer, khususnya isu-isu perempuan. Bagaimana mereka bisa berempati pada persoalan perempuan kalau tidak mengerti problem kaum perempuan. Kedua, ulama MUI pada umumnya memandang persoalan perempuan sebagai hal yang tidak penting, terutama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketiga, ulama MUI pada umumnya menilai konsep kesetaraan gender yang diperjuangkan kelompok feminis bertentangan dengan kodrat perempuan seperti diajarkan agama atau bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Keempat, dalam persoalan perempuan, ulama MUI pada umumnya masih sangat kental dipengaruhi pandangan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Pandangan atau interpretasi keagamaan yang mainstream itulah yang banyak didakwahkan ulama di masyarakat.
Saran dan rekomendasi
Ke depan, dalam setiap pembuatan fatwa, MUI harus memperhatikan berbagai situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar fatwa MUI benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan sejalan dengan tujuan persyariatan hukum Islam (maqasid at-tasyri’), yaitu al-masalih al-ammah atau kemaslahatan umum.
Kemaslahatan umum dimaksud ialah kemaslahatan berkenaan dengan pemeliharaan lima hal yang prinsip dalam hidup (al-daruriyat al-khams), yakni akal, agama, jiwa, keturunan, dan harta.
MUI harus selalu mempertimbangkan aspek kemaslahatan umum setiap akan mengeluarkan fatwa.
Dengan ungkapan lain, setiap fatwa MUI diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan tersebut, baik yang bersifat ukhrawiyah atau diniyah maupun duniawiyah. Akan tetapi, MUI tampaknya sulit mempertimbangkan aspek kemaslahatan umum, sebab jika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang bersifat non syar’iyah dengan nash qat’i, MUI tidak akan mendahulukan kemaslahatan. Alasannya, MUI masih memandang kemaslahatan yang bersifat non-syar’iyah hanya ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal, sedangkan nash qat’i ditetapkan berdasarkan wahyu. Wahyu haruslah lebih didahulukan atau diutamakan daripada akal.
Sejumlah kajian ushul fiqh menyimpulkan perlunya memperhatikan prinsip rasionalitas dalam istimbath al-ahkam. Rasionalitas menempati posisi yang amat penting dalam hukum Islam. Posisi penting rasionalitas itu dinyatakan secara tegas dalam kaedah ushul fiqh, sesungguhnya apa yang menurut hukum akal baik atau buruk, syariat pun memberikan hukum terhadap hal tersebut dengan wajib atau haram.
Hanya dengan menggunakan rasionalitas, bangunan metodologi ushul fiqh akan menjadi dinamis dan aplikatif serta mampu menjawab setiap persoalan kontemporer yang muncul setiap saat. Pada tataran ini dapat dipastikan bahwa syariat tidak lagi menjadi ‘masalah’, tetapi secara meyakinkan akan menjadi ‘mashlahah’ di setiap waktu dan tempat (shalihun li kulli zamanin wa makanin).
MUI perlu melakukan ijtihad kolektif dengan memperhatikan kaidah-kaidah perbandingan mazhab untuk meneliti pendapat mazhab manakah yang dalilnya kuat dan ditunjang kemaslahatan. Jika dijumpai pendapat yang demikian, pendapat itulah yang dipilih dan difatwakan dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek kondisi dan situasi masyarakat.
MUI jangan terlalu ketat dan kaku berpegang pada nash qat`i. Prinsip mendahulukan nash qat`i dalam merumuskan hukum menjadi kendala yang menyulitkan MUI. Sebab, nash baik dari Alquran maupun Sunnah yang mengandung kepastian hukum secara jelas sangat sedikit. Sementara, persoalan sosial yang muncul semakin banyak dan semakin rumit seiring dengan dinamika sosial, perkembangan modern dan kemajuan sains dan teknologi serta pengaruh perkembangan global dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Karena itu, mengandalkan hanya pada nash qat`i secara tekstual sangat tidak menyelesaikan persoalan. Diperlukan pembacaan ulang terhadap dalil yang ada. Dengan ungkapan lain, perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap nash qat`i dan melakukan dekonstruksi terhadap ajaran-ajaran agama yang dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama dalam ajaran yang berbicara tentang relasi gender. Hanya dengan cara demikian, ajaran Islam bisa bertahan dan aplikatif. Jika tidak, ajaran itu dikhawatirkan kelak akan menjadi fosil belaka.
Sebagai penutup, mari kita simak perkataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, pakar hukum Islam bermadzhab Hambali, bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, yaitu kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-’adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah). Semua hal yang bertentangan dengan tujuan hakiki ini bukanlah bagian dari syariat, kendati disusun dengan upaya-upaya yang sistematis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved