Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Kepala Daerah Korup dan Ujian Demokrasi

Umbu TW Pariangu Dosen Fisipol Undana,Kupang
05/8/2017 00:16
Kepala Daerah Korup dan Ujian Demokrasi
(Duta)

TERTANGKAPNYA Bupati Pamekasan Achmad Syafii oleh KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan dan Kepala Inspektorat Pemkab Pamekasan, Rabu (2/8), terkait dengan kasus suap dana desa, menunjukkan proyek pemberantasan korupsi sejauh ini masih tersendat. Padahal, sehari sebelumnya, di Hotel Westin Jakarta, Selasa (1/8), pemerintah baru saja memberikan penghargaan kepada 27 kepala daerah inovatif (9 wali kota, 13 bupati, dan 5 gubernur) yang berhasil mengembangkan kinerja kepemimpinan di daerah masing-masing. Namun, penghargaan itu seakan ternodai oleh penangkapan Bupati Achmad.

Gencarnya OTT yang dilakukan KPK tampaknya tidak linear dengan jeranya para kepala daerah untuk berpraktik rasywah. Bayangkan, 183 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang 2010-2015 dan paling banyak adalah jabatan bupati (Antikorupsi.org, 28/8/2016). Selama 2016, empat kepala daerah di-OTT KPK dan di tahun ini sekurangnya sudah dua OTT yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah. Itu tak termasuk anggota DPRD, birokrat, dan kejaksaan.

Kita sedih karena zona kewenangan besar yang dimiliki kepala daerah untuk melakukan inovasi pelayanan publik justru dijadikan arena bancakan. Minyak, kayu, perikanan laut, pasir laut, satwa langka, tambang, hingga dana desa yang alokasinya sangat menggiurkan hanya deretan kecil 'kue haram' yang dikorup. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah melaporkan ada 12 gubernur dan 26 bupati memiliki rekening gendut (Metrotvnews, 27/5). Data ini sungguh menistai akal sehat publik karena rekening-rekening gelap terjadi di tengah negara sedang mengibarkan panji-panji perlawanan terhadap korupsi.

Tidak menghargai daulat rakyat Korupsi, menurut Rose Ackerman (2000) atau Campante, Chor & Anh Do (2008), dianggap berpotensi mendelegitimasi kemampuan kepala daerah dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap rakyat. Ketika kekuasaan direngkuh, harapan yang tecermin dalam kontrak politiknya dengan rakyat akan termutilasi dengan sendirinya ketika penumpukan pundi-pundi haram menjadi tradisi legal. Bukan saja mencederai moralitas publik, itu juga merecoki nilai-nilai demokrasi sebagai fundamen mengelola kesejahteraan publik.

Demokrasi dalam pilkada merupakan platform perjuangan untuk mewujudkan nilai-nilai kekuasaan yang populis dan akuntabel. Itu sebabnya syarat-syarat dalam proses rekrutmen calon kepala daerah dalam pilkada selalu menekankan tidak saja pada aspek sehat jasmani, tetapi juga rohani termasuk menjamin perilaku yang tidak tercela dan bersih dari aib. Kewajiban melampirkan laporan harta kekayaan dalam berkas persyaratan sebagai calon kepala daerah sebenarnya merupakan desain untuk mengikat para calon pemimpin pada bangunan standar etik dan moralitas.

Bahkan keharusan memasukkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada KPK setelah menjabat selalu ditekankan mendagri. Namun, seruan itu diabaikan begitu saja. Dalam konteks pilkada sebagai momen seleksi kepala daerah, segenap basis elemen penyelenggara pilkada (KPU, Bawaslu, parpol) mestinya harus menunjukkan tanggung jawab kepublikan mereka dengan tidak mengangkangi pertimbangan etis dan moral dalam rekrutmen politik yang membuka celah terjadinya penyimpangan integritas dan nilai meritokratis di pilkada.

Obligasi politik dan moral institusi kunci penyelenggara pilkada merupakan keniscayaan agar kepala daerah yang diikutsertakan dalam kompetisi pilkada benar-benar sudah teruji secara moral, integritas, dan kompetensi. Selain penyelenggara pilkada, termasuk institusi parpol yang perlu berbenah serius dan evolutif dalam merekrut kader-kader pemimpinnya, di atas segalanya kita memang sangat mengecam integritas moral para kepala daerah yang tidak memiliki spirit penghargaan terhadap hak daulat rakyat.

Dana desa yang pada 2017 berjumlah Rp60 triliun, misalnya, tujuannya untuk 'menginfus' kehidupan rakyat dalam mengelola perekonomian desanya secara partisipatif dan otonom sehingga berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan, bukan untuk dikerat seenaknya. Di era sebelumnya, pembangunan bagi warga desa lebih banyak terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan pusat dengan nalar yang instruktif, bukan partisipatif. Akibatnya, roh demokrasi di desa gagal menumbuhkan hak dan kedaulatan rakyat yang semestinya sehingga makna kesejahteraan hanyalah ilusi.

Bencana
Sirnanya konsistensi moral dan akuntabiltas politik kepala daerah di dalam memimpin ialah bencana yang membunuh masa depan demokrasi. Menurut Krathwohl, Bloom, dan Masia (1973:12-19), perilaku konsisten seorang politikus dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang diyakininya ke dalam nilai kehidupan sejatinya akan memampukan dirinya untuk menghindari sifat buruk dan sebaliknya menerima sifat yang dianggap baik sebagai nilai keutamaannya.

Amartya Sen (2000:13-34) pernah mengatakan manusia kerap kali serupa dengan laron yang cenderung mendatangi sumber cahaya di malam hari. Atau sama dengan manusia duniawiah yang juga cenderung mendekatkan dirinya dengan sumber kenikmatan. Ini mengarahkan kita untuk melekatkan kelakuan politisi kekinian dengan mazhab hedonisme yang dikembangkan pertama kali oleh Aristippus, salah satu murid Aristoteles. Ia mengatakan tujuan hidup sejatinya kebahagiaan arkais dan kebahagiaan itu diperoleh melalui kesenangan, penjauhan dari rasa sakit fisik, sehingga uang, seks, mabuk, dan narkoba adalah pengejawantahan kebahagiaan dimaksud.

Wajah tunggal tujuan hidupnya Aristippus itu dan realitas politisi masa kini memang tengah memperlihatkan budaya dan perilaku yang koheren. Mencapai tujuan dengan jalan pintas (transaksional, korupsi), arogan, narsisme, menekan rakyat kecil, memuja nilai-nilai materialisme (kebendaan) masih merupakan tujuan utama kekuasaan. Namun, itulah ujian demokrasi, setidaknya mengajarkan bahwa kita tak mungkin menyerahkan cek kosong dalam membangun kesempurnaan basis moral-politik kepada seorang politikus, serupa anggapan benda langit mengorbit dalam lingkaran yang sempurna, padahal tidak.

Pilkada 2018 tak lama lagi. Dalam situasi korupsi yang masif saat ini, rakyat tak boleh lagi apatis dengan politik. Rakyat punya kepentingan menjadikan pilkada sebagai gerbang politik hadirnya bonum commune. Caranya dengan tidak memilih kandidat yang nyata-nyata miskin pengalaman, hanya mengandalkan tebar pesona dan duit.
Kaum akademisi, LSM, dan kaum agamawan adalah agen-agen eleksional terdepan yang diharapkan mengedukasi rakyat tanpa lelah agar hak pilih rakyat tidak lagi dirampok segepok fulus yang hanya memuluskan demokrasi dikuasai orang-orang jahat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya