Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
SADAR atau tidak bangsa kita sudah terjebak dalam bias beras dalam kebijakan ketahanan pangan nasional. Urusan pangan indentik dengan urusan beras. Kita sesungguhnya telah melakukan beras-isasi dalam kebijakan pangan nasional selama lebih dari empat dasawarsa. Bentuk gerakan beras-isasi tersebut ialah, pertama, dari sisi produksi, subsidi dan proteksi terhadap produksi beras telah kita lakukan sejak awal Orba sampai sekarang. Pembangunan irigasi, mekanisasi, bantuan benih pupuk, dan dukungan intensifikasi lainnya didominansi untuk meningkatkan produksi beras.
Memang awalnya dampaknya baik bagi ketahanan pangan nasional yang pada 1984 untuk pertama kali kita secara spektakuler bisa berswasembada beras. Pada periode-periode selanjutnya, hampir dapat dikatakan sekitar 90%-100% kebutuhan beras nasional bisa dipenuhi petani kita. Namun, dampak dari proteksi dan subsidi terhadap produksi gabah/beras yang masif menyebabkan biaya produksinya menjadi lebih murah. Ditambah lagi dengan kebijakan proteksi pasar melalui harga dasar (Orba) dan harga pembelian pemerintah (era reformasi) menjadikan produksi beras unggul secara artifisial jika dibandingkan dengan produksi komoditas pangan sumber karbohidrat nonberas lainnya.
Inilah kemudian yang menyebabkan hilangnya keunggulan komparatif komoditas pangan lokal sumber karbohidrat nonberas (jagung, sagu, ganyong, singkong, keladi, gembili, dan lain-lain). Petani lebih suka menanam padi ketimbang komoditas pertanian sumber karbohidrat lainnya. Kedua, beras-isasi dari sisi konsumsi. Beras ialah komoditas politik yang sangat dijaga kestabilitasan harganya oleh pemerintah sejak zaman Orba sampai sekarang. Target pemerintah dari sisi konsumsi ini ialah bagaimana menghadirkan harga beras murah. Target ini penting untuk dicapai karena, pertama, urgensi stabilitas politik, yakni menjaga agar tidak terjadi keresahan sosial yang bisa berimplikasi timbulnya social shock karena kesulitan akses beras.
Kesadaran ini menyebabkan setiap rezim yang berkuasa selalu menjaga ketat agar beras yang tersedia dalam jumlah yang cukup dengan akses yang mudah bisa selalu dihadirkan. Kedua, urgensi ekonomi. Secara makro dengan beras murah, relatif akan meringankan biaya indusrialisasi karena inflasi bisa dijaga rendah dan akses buruh terhadap pangan pokok bisa dijaga. Dengan demikian, kebijakan industrialisasi yang mengandalkan labor intensif dengan upah yang murah bisa tetap terjaga. Industrialisasi bisa dijalankan dengan biaya murah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Bahkan untuk melanggengkan akses beras murah ini, impor beras dilakukan jika produksi dalam negeri dinilai tidak mampu menjaga harga beras yang murah tersebut hadir.
Dampaknya terjadi pergeseran konsumsi masyarakat secara masif. Sebagian besar rakyat kita yang sebelumnya sudah familier secara sosial budaya dengan komoditas nonberas beralih mengonsumsi beras. Beras-isasi dari sisi konsumsi inilah yang menyebabkan masyarakat Madura meninggalkan jagung, Papua meninggalkan umbi-umbian, kawasan timur Indonesia meninggalkan sagu, karena beras yang menjadi sangat murah dan mudah diakses ketimbang komoditas-komoditas pangan nonberas tersebut. Beras-isasi yang melahirkan hegemoni beras dalam ekonomi politik pangan nasional ini, kalau kita pertahankan terus-menerus, akan membahayakan.
Mengapa? Sumber suplai beras domestik akan menurun dan akan sulit untuk memenuhi kebutuhan domestik karena, pertama, lahan-lahan budi daya padi di daerah sentra produksi utama telah mengalami fenomena leveling off (kejenuhan). Masukan pupuk dan sarana produksi lainnya tidak meningkatkan produktivitas yang berarti. Kedua, kebutuhan lahan untuk kegiatan industri, jasa, perumahan, dan lain-lain sangat tinggi yang menggeser lahan-lahan padi. Ketiga, risiko gagal panen pun menjadi lebih tinggi dengan adanya perubahan iklim global.
Di sisi lain, suplai beras internasional pun akan semakin terbatas mengingat ancaman iklim global akan menyebabkan negara-negara pemasok utama beras akan memprioritaskan kebutuhan domestik mereka. Di samping itu, kebutuhan lahan untuk menanam bahan pangan untuk kepentingan energi pengganti BBM (biofuel) menyebabkan konversi lahan pun untuk lahan padi ke lahan pangan sumber biofuel juga terjadi dengan tren yang semakin meningkat ke depan yang akan semakin mengurangi suplai beras internasional yang bisa diperdagangkan di pasar dunia.
Menghilangkan hegemoni beras (tentu saja secara bertahap) menjadi urgensi yang harus segera dilakukan karena dengan tetap membiarkan hal itu terjadi, ancaman shock krisis beras menjadi sangat besar di hadapan kita. Langkah yang terpenting untuk itu ialah menghilangkan fobia kenaikan harga beras khususnya di tataran pemerintah. Beras-isasi yang terjadi selama ini disebabkan fobia pemerintah terhadap kenaikan harga beras. Pemerintah sangat tidak berkenan jika harga beras naik walaupun kenaikan itu disebabkan faktor siklus tahunan (seperti yang terjadi menjelang akhir tahun dan tahun baru seperti saat ini) dan bukan karena faktor-faktor yang fundamental-struktural seperti gagal panen karena bencana alam atau serangan hama penyakit yang masif.
Pemerintah harus bisa mendisiplinkan diri untuk tidak terlalu cepat melakukan operasi pasar ketika melihat fenomena kenaikan harga beras. Biarkan harga beras naik sampai pada ambang batas harga yang memang diperlukan untuk melakukan intervensi, yakni kenaikan harga rata-rata 25%. Ketika terjadi kenaikan harga, yang perlu dilakukan pemerintah ialah fokus melindungi akses masyarakat miskin yang rentan secara ekonomi dari kenaikan harga beras. Untuk kalangan menengah atas, biarkan mereka membeli beras pada harga ekonomi pasarnya.
Bantuan pangan dalam rangka proteksi terhadap rumah tangga miskin yang mengalami rawan pangan baik ketika terjadi bencana alam ataupun ketika pemerintah melakukan operasi pasar pangan hendaknya lebih mempertimbangkan aspek kultur pangan masyarakat yang dibantu. Artinya untuk daerah-daerah yang pangan pokoknya adalah nonberas seperti sagu di Indonesia Timur, umbi-umbian untuk kawasan Papua, jagung untuk Madura, dan lain-lain, bantuan pangan yang diberikan negara hendaknya berupa makanan pokok lokal setempat. Tentu saja itu disertai dengan proteksi dan subsidi terhadap produksi komoditas nonberas pada daerah atau kawasan yang dulu telah familier dengan pangan lokal nonberas tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved