Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
FENOMENA yang terjadi terhadap ancaman negara tak bisa diabaikan. Rentetan teror, wacana mengubah dasar negara, dan bergesernya konflik dari wilayah Timur Tengah ke Marawi, Filipina, yang notabene sudah berada di sekitar halaman Indonesia menjadi bukti nyata. Berbagai kebijakan dan aksi yang dilakukan pemerintah maupun nonpemerintah terhadap hal tersebut, di satu sisi, perlu diapresiasi. Namun, di sisi lain, itu perlu juga dikritisi. Berita di harian Media Indonesia (27/7) dengan judul 'Bela Negara Harus Kekinian, bukan Militeristis', termasuk yang harus dikritisi.
Dalam berita tersebut Sekretaris Kabinet Pramono Anung meminta masyarakat tak salah kaprah dalam memaknai program bela negara yang akan segera diterapkan pemerintah pada perayaan HUT RI pada 17 Agustus nanti. Ia memastikan konsep program itu akan jauh dari pendekatan semimiliteristis karena bela negara bukanlah program wajib militer. "Tujuannya untuk membangkitkan kebanggaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi konsepnya kekinian dengan melibatkan perkembangan social media, melibatkan berbagai hal, sebab kita tidak bisa lagi yang bersifat dogmatis seperti dulu. Jadi menyentuh seluruh kehidupan masyarakat," ujarnya. Mengutip pesan Presiden Joko Widodo, Pramono mengatakan pendekatan berbau wajib militer, kental dengan berbagai latihan fisik, akan ditanggalkan.
Pramono menyebutkan, jika memang dibutuhkan payung hukum untuk sosialisasi bela negara itu, pemerintah akan membuatnya. "Kalau memang dibutuhkan payung hukum, itu akan disiapkan, tapi dalam waktu dekat ini momen 17 Agustus akan dilakukan sosialisasi bela negara itu," kata dia. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, tentang momentum dan payung hukum. Kedua, tentang redaksional 'menanggalkan wajib militer'.
Abai pada dasar hukum
Jangan sampai hanya karena momentum hari jadi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2017, kesempatan ini digunakan untuk membuat program kekinian dengan 'mengesampingkan' dasar hukum yang digunakan dalam membuat program bela negara. Kesan yang ditangkap; buat dulu programnya, aturannya menyusul. Melaksanakan bela negara adalah kewajiban dari setiap warga negara, tetapi bukan berarti bisa dilakukan sesuka hati karena bela negara merupakan salah satu dari subsistem pertahanan negara. Pasal 7 ayat 2 UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
Hal yang tak kalah penting, pada pasal 8 ayat 3 dinyatakan bahwa komponen cadangan dan komponen pendukung diatur dengan UU. Pasal 9 ayat 2 UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui, (a) pendidikan kewarganegaraan, (b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, (c) pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib, dan (d) pengabdian sesuai dengan profesi. Pada pasal 9 ayat 3 dinyatakan bahwa ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran wajib, dan pengabdian sesuai profesi diatur dengan UU. Dengan demikian, jelas dan mutlak bahwa program bela negara tidak berdiri sendiri, tapi merupakan kegiatan yang secara langsung mendukung sistem pertahanan negara.
Komponen cadangan untuk mendukung komponen utama disiapkan melalui pelatihan dasar kemiliteran wajib atau dikenal dengan wajib militer, sedangkan komponen pendukung disiapkan melalui pendidikan kewarganegaraan dan pengabdian lewat profesi.
Kalau kemudian pemerintah akan membuat program bela negara yang bersifat kekinian dan akan meninggalkan wajib militer, serta aturannya dibuat menyusul, jelas itu melanggar undang-undang dan menjadi hal yang aneh jika komponen 'cadangan dan pendukung' yang notabene nonmiliter nantinya diberikan pelatihan dan aturan yang berbeda dari komponen utamanya. Bila pemain utamanya menggunakan aturan sepak bola, sementara cadangannya menggunakan cara dan aturan permainan basket, begitu cadangan dan pendukung dibutuhkan pemain utama, akan terjadi miss alias tidak nyambung bahkan menjadi kacau.
Untuk itu, jangan terburu-buru membuat program jika aturannya belum ada. Ironisnya, hingga hari ini belum ada satu pun undang-undang yang menjadi dasar melaksanakan bela negara. Akibatnya, kewajiban warga negara untuk melaksanakan bela negara menjadi terabaikan dan sistem pertahanan negara menjadi rapuh.
Kekinian
Kalau dasarnya pemerintah adalah melihat 'keberhasilan' peringatan Pancasila 1 Juni dengan tagline 'Saya Indonesia, Saya Pancasila' yang menggema cukup panjang, tentu itu bukan berarti sebagai bentuk esensi dari bela negara. Itu 'hanyalah' bagian dari menciptakan kesadaran bela negara, yang jika dikaitkan dengan aturan hukum masuk pada komponen pendidikan kewarganegaraan. Untuk itu, dalam melaksanakan bela negara, dibutuhkan tiga undang-undang yaitu, undang-undang bela negara melalui pendidikan kewarganegaraan, undang-undang bela negara melalui wajib militer, dan undang-undang bela negara melalui profesi.
Untuk menciptakan sistem pertahanan negara yang kuat, sebagaimana yang diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Pertahanan Negara, harus dilengkapi dengan undang-undang komponen cadangan dan komponen pendukung. Jika presiden, seperti yang dinyatakan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, ingin memasukkan program bela negara untuk diajarkan secara dini, program ini dapat dimasukkan ke program pendidikan kewarganegaraan dengan judul 'Program Bela Negara Melalui Pendidikan', dengan landasan Undang-Undang Pendidikan Nasional. Bukan meninggalkan wajib militer.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved