Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Urgensi Mengontrol KPK

Ahmad Sahroni Anggota Pansus Angket KPK dari Fraksi NasDem
19/7/2017 00:16
Urgensi Mengontrol KPK
(MI/ROMMY PUJIANTO)

MASIH sangat mengharapkan kinerja terbaik KPK. Itulah keinginan kuat masyarakat luas demi memusnahkan persebaran korupsi di Tanah Air ini, setidaknya mengurangi secara signifikan. Itulah sebabnya, KPK dalam menjalankan tugasnya diperkuat perangkat UU yang cukup memadai, di antaranya kewenangan menyadap. Sudahkah harapan ideal itu terlihat? Bahkan, apakah dengan kewenangan yang demikian besar itu tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, terkait dengan prosedur, penggunaan anggaran, dan lainnya? Dan tak kalah prinsipiilnya lagi, apakah publik tak punya kewenangan mengontrol KPK yang kini benar-benar menjadi lembaga superbodi?

Perlu penilaian objektif dan jauh dari nuansa politisasi. Sejumlah fakta menunjukkan KPK relatif berhasil menunjukkan kinerjanya. Sekadar catatan, dalam lima tahun terakhir 1.254 kasus dari total 2.447 kasus (50,6%) terproses dari tingkat penyidikan ke penuntutan, dengan nilai kerugian negara Rp 18,3 triliun. Padahal jika seluruh kasus ditangani, potensi nilai pengembalian uang negara Rp29,3 triliun. Dari data itu, tak sedikit dari anasir penyelenggara negara dan atau yang bekerja sama dengan para aparatur terjaring dalam proses hukum sampai ke etape final; masuk ke lembaga pemasyarakatan. Namun, tak bisa dimungkiri, kinerja KPK masih jauh dari harapan ideal. Menurut catatan Lembaga Survey Indonesia (LSI) terkait dengan kepuasan kinerja KPK, 21,4% responden menyatakan penilaian buruk kinerja KPK. Bahkan, sekitar 3,3% yang memberikan penilaian sangat buruk. Memang, masih cukup tinggi yang merespons positif kinerja KPK (sekitar 39%). Namun, pihak yang tidak puas itu tidak boleh dipandang sebelah mata.

Yang perlu kita catat lebih jauh, apakah kinerja KPK yang belum maksimal itu karena faktor jumlah kasusnya yang demikian 'melimpah' dan terus terkuak sehingga terpaksa harus melakukan tebang pilih sesuai alat bukti yang cukup? Atau, memang ada problem mental pada para diri penegak antirasywah ini? Kita dapat memahami ketika keterbatasan penanganan itu akibat lonjakan jumlah kasus, sementara sumber daya pendukungnya (SDM dan lain-lainnya) masih terbatas. Namun, hal ini yang perlu kita renungkan bersama bahwa berdasarkan data investigatif internal KPK, setidaknya ada dua hal yang patut kita sikapi serius. Pertama, kian menampak jumlah oknum di dalam KPK yang 'perdagangkan' perkara. Mereka melakukan 'pemerasan' secara material dan bernilai tidak kecil terhadap para pihak yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Kedua, saat ini kian menguat permainan di tengah KPK bahwa lembaga ini dijadikan arena sekaligus alat politik untuk agenda balas dendam. Tak sedikit oknum politisi pinjam tangan KPK untuk melakukan pembunuhan karakter secara sistimatis terhadap lawan-lawan politiknya. Dari eksploitasi inilah, kini suasana di dalam KPK terjadi tarik-menarik kepentingan yang demikian kuat, terjadi banyak kubu dan menjadi alat bagi kelompok pemesan. Lembaga ini cukup proaktif dalam arena politik praktis dan hanya irisan kecil yang masih committed dalam misi penegakan hukum. Inilah kondisi objektif hari ini yang tidak banyak diketahui publik.

Dengan potret KPK seperti itu, layakkah dibiarkan? Tentu tidak. KPK yang dibentuk atas dasar UU dan mendapat anggaran negara secara rutin, ia wajib dikontrol, diminta pertanggungjawabannya. Kontrol itu jelas arahnya; mengembalikan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum terkait dengan korupsi. Namun, sikap konstruktif yang sesungguhnya diperlukan itu, kini menuai reaksi negatif (kontra), di samping yang pro. Inilah penggunaan hak angket yang kini digulirkan DPR RI sebagai manifestasi penggunaan hak pengawasan (kontrol) yang jelas-jelas berpijak pada UU. Penggunaan haknya merupakan amanat konstitusi atas fungsi dewan.

Kelompok yang sepakat dengan Pansus Angket KPK menilai secara rasional bahwa secara konstitusional DPR dapat melakukan angket terhadap KPK karena lembaga antikorupsi ini dibentuk dengan UU. Maka, untuk mengawasi pelaksanaan UU itu, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK. Jelas, dalam UUD 1945 disebutkan DPR mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan (legislasi, pengawasan, dan anggaran). Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan itulah DPR memiliki sejumlah hak, termasuk angket. Pansus Angket KPK merupakan upaya memperkuat keberadaan dan peran KPK sesuai misi dan amanat UU. Jika kita committed berantas korupsi, upaya pembenahannya haruslah mendapat dukungan yuridis-politis.

Kita perlu menggarisbawahi dengan penuh keprihatinan, jika KPK tetap terbiarkan sesuai dengan kondisi saat ini, tidak hanya kinerjanya akan semakin drop, tapi juga benar-benar akan ikut merusak sistem ketatanegaraan. Landasannya, KPK sudah terlalu jauh berpolitik praktis meski instrumen yang dimainkan koridor hukum. Sekali lagi, jika kondisi objektif KPK saat ini dibiarkan, hanyalah ilusi untuk menggapai realisasi pemberantasan korupsi secara optimal. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, perlukah KPK dipertahankan, padahal operasionalisasinya tak lepas dari anggaran yang tentu tidak kecil? Jika output-nya tetap jauh dari target, mengapa tidak dikembalikan saja ke penegak hukum lain yang lebih dulu eksis (kepolisian dan kejaksaan)? Jika memang tak sejalan dengan pemikiran korektif ini, hanya satu kata: benahi kembali KPK. Agar optimal kinerjanya. Bersih dari mental kotor yang eksploitatif. Steril dari nuansa tindakan politis, apalagi menjadi alat politik pihak tertentu. Untuk mencapai tatanan ideal ini, penggunaan hak angket DPR untuk mengoreksi KPK menjadi krusial dan urgen, dan itu sebagai upaya untuk check and balance lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik serta bermartabat.




Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya