Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
AKSI terorisme yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air memperlihatkan pola baru. Aksi teror kini cenderung dilakukan dalam kelompok kecil, bahkan perseorangan. Aksi bom bunuh diri dan serangan yang dilakukan pelaku teror ada indikasi tidak berstruktur dan merupakan aksi perseorangan yang otonom.Di Bandung, RS, salah satu terduga teroris sekaligus merakit bom panci, ditangkap aparat gabungan sebelum melakukan aksinya. Sebelumnya, penangkapan yang sama juga dilakukan di Cianjur. Tim dari kepolisian dilaporkan telah menangkap Abu Umar dan memeriksa rumah tersangka. Di Cianjur, polisi menemukan rompi antipeluru, tenda peleton, dan berbagai barang lain yang mengindikasikan si pemilik terlibat aksi terorisme.
Dalam berbagai kasus, ada indikasi para pelaku teror merupakan simpatisan gerakan radikal yang terkooptasi radikalisme dari materi-materi yang diunggah pada website radikal ataupun grup messenger radikal yang diikutinya. Dalam melakukan aksi teror, para pelaku mengembangkan aksi-aksi nekat yang kecil-kecilan dan dilakukan secara lone wolf. Beda dengan kelompok terorisme di berbagai negara yang kebanyakan dilakukan secara berkelompok, belakangan ini pelaku teror tampaknya hanya mengandalkan fanatisme dan tindakan individual yang sama sekali tidak terorganisasi. Dari hasil sinyalemen ditengarai, pelaku teror terilhami dan termotivasi oleh maraknya materi yang diunggah pada grup telegram radikal, mengenai amaliah dengan modus penusukan kepada anggota Polri dan kemudian melakukan perampasan senjata. Meskipun aksi-aksi serupa di berbagai daerah hasilnya tidak signifikan, 'keberhasilan' pelaku teror menewaskan aparat kepolisian dalam kasus-kasus sebelumnya sedikit banyak menjadi ilham.
Lone wolf
Berbeda dengan pelaku teror yang teroganisasi dan bekerja di bawah koordinasi jaringan terorisme global, kasus-kasus yang terjadi di Indonesia belakangan ini adalah pola baru yang sulit dideteksi. Seseorang yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak terlibat dalam organisasi atau perkumpulan yang radikal tiba-tiba bisa berubah drastis melakukan aksi nekat yang mengagetkan. Di media massa, kita bisa membaca bahwa para tetangga atau bahkan keluarga pelaku teror lone wolf biasanya tidak pernah menduga kenapa pelaku sampai berani melakukan aksi teror yang sebelumnya hanya mereka lihat di film-film televisi. Reputasi pelaku sering kali bukan orang yang fanatik atau sudah memperlihatkan bibit-bibit sikap radikal mulai kanak-kanak.
Meski demikian, kesamaan pelaku teror satu dengan pelaku yang lain umumnya mereka ialah orang yang sama-sama terpapar konten radikal dari media sosial ataupun berbagai situs radikal di dunia maya. Dengan memanfaatkan aplikasi Telegram, para teroris dengan mudah melakukan berbagai aksi penyebarluasan paham radikal tanpa bisa disadap. Bisa dibayangkan, betapa masif pengaruh konten radikal yang disebarluaskan melalui Telegram jika setiap grup aplikasi ini bisa menampung 10 ribu anggota. Di era postmodern seperti sekarang ini, seseorang yang sehari-hari tampak normal, santun, dan agamais bukan tidak mungkin cepat atau lambat berubah ketika mereka makin intens terpapar konten radikalisme. Seseorang yang terbiasa mengurung diri di kamar atau orang-orang yang sehari-hari banyak menghabiskan waktu di depan komputer mengakses situs-situs radikal bisa saja semula mereka tidak bermaksud apa-apa--kecuali hanya ingin mengetahui perkembangan isu tertentu.
Akan tetapi, bersamaan dengan bergulirnya waktu, ditambah lagi dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin banyak direcoki dengan kekecewaan demi kekecewaan terhadap kondisi kehidupannya, jangan kaget jika mereka kemudian mengalami metamorfosis menjadi sosok yang fanatik dan radikal. Seseorang yang sehari-hari tampak pendiam dan 'orang rumahan' bukan tidak mungkin justru menjadi pihak yang paling rentan terpapar paham radikalisme. Dengan cara pandang yang cenderung sepihak dan tidak adanya alternatif pembanding atau keberagaman informasi yang diakses seseorang, kemungkinan seseorang bersikap ekstrem menjadi lebih besar. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika seseorang sehari-hari menghabiskan waktu berjam-jam hanya membaca konten-konten radikal yang tidak disadari potensi bahayanya.
Keberagaman informasi
Untuk mencegah penyebaraluasan konten radikal agar tidak mengontaminasi orang-orang yang kesepian dan kecewa terhadap kehidupan yang dijalaninya, salah satu cara yang bisa dilakukan ialah dengan memblokir atau menutup situs-situs radikal yang berbahaya itu. Cara seperti ini memang pragmatis dan dengan cepat akan dapat mengurangi potensi bahaya dari penyebarluasan paham radikal ke para pengguna teknologi informasi dan net generation pada umumnya. Namun, di sisi lain, meski efektif dalam jangka pendek, pendekatan yang membatasi ruang gerak dan kebijakan memproteksi masyarakat dari ancaman resiko terpapar konten radikal sesungguhnya dalam jangka panjang mengidap kelemahan. Dikatakan mengidap kelemahan karena dengan tindakan melindungi masyarakat terus-menerus sebetulnya tidak akan membuat masyarakat bisa bersikap dewasa dan tahan terhadap berbagai godaan paham radikal.
Memang, sudah menjadi tugas negara untuk mencegah dan melindungi masyarakat agar tidak terpapar konten radikal. Kemenkominfo sebagai lembaga negara yang bertugas melindungi masyarakat sudah sewajarnya mengeluarkan kebijakan menutup situs-situs radikal yang terus bermunculan di dunia maya agar tidak bisa lagi diakses masyarakat. Akan tetapi, dengan bersikap protektif secara berlebihan dan tidak membiarkan masyarakat untuk tumbuh kuat secara mandiri menyikapi penyebaran konten radikal, bukan tidak mungkin suatu saat itu akan menjadi perangkap yang menjerumuskan.Lebih dari sekadar menutup situs-situs radikal, untuk mencegah aksi lone wolf yang merongrong ketenteraman masyarakat agar tidak muncul kembali, yang tak kalah penting sesungguhnya ialah bagaimana membiasakan masyarakat hidup dalam keberagaman informasi dan konten-konten yang berbeda-beda yang bisa menstimulasi tumbuhnya sikap kritis masyarakat. Ketakutan yang berlebihan terhadap konten radikal jangan-jangan merupakan indikasi keberhasilan dari aksi terorisme dalam bentuk yang lain?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved