Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
PEKAN ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas).
Perppu tentang pembubaran ormas menimbulkan pro-kontra walaupun perppu itu ditujukan untuk mengantisipasi kegiatan ormas yang dinilai mengancam eksistensi bangsa dan menimbulkan konflik.
Aroma politik sangat jelas, padahal ormas yang anti-Pancasila sangat berbahaya untuk masa depan peradaban bangsa.
Dengan adanya Perppu No 2/2017, prosedur pembubaran ormas oleh pemerintah menjadi lebih singkat dan ringkas.
Sebanyak 18 pasal yang mengatur soal proses pembubaran dihapus.
Kini, syarat administrasi bagi ormas yang melanggar peraturan hanya ada tiga tahap, yaitu peringatan tertulis satu kali, penghentian kegiatan ormas, dan pembubaran.
Sebelumnya, melalui menko polhukam, pemerintah sudah menggelindingkan wacana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Ada yang pro, ada yang kontra.
Semua menjadi warna dalam proses demokratisasi negeri ini.
Akan tetapi, satu hal yang wajib dipastikan bersama: Pancasila dan NKRI harus ditegakkan bersama.
Pancasila dan NKRI ialah hasil kesepakatan para pendiri bangsa dan terbukti menjadi 'rumah bersama' untuk semua kelompok yang hidup di Indonesia.
Ormas menjadi salah satu bagian dalam menegakkan Pancasila dan NKRI. Sangat disayangkan kalau ormas justru meruntuhkan Pancasila dan NKRI.
Di sinilah problemnya, HTI dan lainnya dipandang sebagai ormas yang menggelorakan khilafah, menjauhkan Indonesia dari Pancasila.
KH Abdul Moqsith Ghazali (2017) menegaskan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dua hal yang tak bisa diubah; sila-sila Pancasila dan pembukaan UUD 1945.
Sementara itu, batang tubuh UUD 1945 bisa diubah melalui proses konstitusional.
Jika ormas ingin mengubah Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, di situlah konflik terjadi.
Sebab, dua pokok itu telah menjadi konsensus (ijma') politik kita dalam berbangsa dan bernegara.
Jika ormas melanggar konsensus itu, itu agak mirip dengan sebagian Yahudi Madinah yang melanggar Piagam Madinah.
Konsensus politik itu mengikat bagi kita.
Al-muslimuna 'ala syuruthihim. Umat Islam tak boleh mengingkari konsensus politik itu.
Keberanian pemerintah dalam membubarkan ormas memang masih sebatas sikap politik, bukan hukum.
Menurut Rumadi Ahmad (2017), sikap ini menunjukkan positioning yang jelas dalam menjaga ideologi negara, Pancasila.
Kalau pemerintah serius membubarkan ormas, tidak bisa berhenti hanya dalam sikap politik.
Itu harus diikuti dengan langkah hukum agar pembubaran ormas dilakukan secara bermartabat.
Makanya, ormas harus dilihat sebagai gerakan politik, bukan sebatas gerakan keagamaan.
Agama hanya dijadikan sebagai cover gerakan politik yang mereka lakukan.
Pemerintah sudah bersikap tepat yang meletakkan ormas sebagai gerakan politik.
Karena itu, lanjut Rumadi, tidak beralasan jika ada yang menganggap sikap politik pemerintah ini dianggap sebagai sikap anti-Islam.
Pembubaran organisasi bukan sesuatu yang diharamkan dalam negara demokrasi asal dilakukan dalam substansi dan prosedur yang dibenarkan hukum.
Membubarkan organisasi tidak bisa disamakan dengan pembatasan berpikir dan berkeyakinan.
Berpikir dan berkeyakinan memang tidak bisa dibatasi, tapi berorganisasi untuk memperjuangkan pikiran dan keyakinan bisa dibatasi.
Di samping itu, pembubaran organisasi tidak dibenarkan dilakukan secara sewenang-wenang.
Karena itu, prosedur yang diatur dalam perppu harus diikuti.
Pemerintah tetap harus menjamin keselamatan dan keamanan pengikut ormas.
Tidak boleh ada tindakan dari siapa pun untuk melakukan kekerasan atau merusak properti yang dimiliki sebuah ormas.
Islam dan Pancasila
"Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya."
Pernyataan ini disampaikan KH Achmad Siddiq, Rais Aam NU 1984-1991, dalam forum Munas Alim Ulama pada 1982 di Pesantren Salafiyyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo.
Ini kritik keras kepada umat Islam yang masih miskin tanggung jawab dalam berbangsa dan bernegara.
Padahal, sudah menikmati anugerah sangat istimewa, yakni NKRI.
Tanggung jawab kewarganegaraan dalam berpolitik, khususnya konteks NKRI, sudah sangat tegas dirumuskan NU dalam Muktamar di Krapyak Yogyakarta pada 1989.
Ada sembilan tanggung jawab utama yang mesti dipahami bersama sehingga tidak salah tafsir dan gagal paham dalam diskursus Islam dan politik di Indonesia.
Sembilan hal itu yakni keterlibatan aktif yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1956; berwawasan kebangsaan; pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis; berpolitik dengan moral, etika, dan budaya; berpolitik dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, dan adil; berpolitik untuk memperkukuh konsensus nasional; berpolitik tanpa memecah belah persatuan; berpolitik dengan suasana persaudaraan, tawadlu', dan saling menghargai; berpolitik untuk membangun komunikasi kemasyarakatan.
Etos berbangsa dan bernegara dari NU ini menjadi spirit penting untuk meneguhkan Pancasila dan NKRI.
Semua harus saling menguatkan sehingga generasi masa depan bisa berkiprah membangun Indonesia yang dicintai ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved