Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Ketika Poligami Nyaris Diperdakan

Mohammad Ghazi
04/1/2017 06:00
Ketika Poligami Nyaris Diperdakan
(Dok. MI)

SALAH satu rencana penerbitan peraturan daerah yang sempat menjadi buah bibir pada akhir 2016 disuarakan dari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Itu bukan sekadar isu karena orang yang pertama kali mengembuskannya ialah Ketua Komisi IV DPRD Pamekasan Apik.

“Kami tengah menyiapkan dan mengkaji rancangan perda tentang poligami. Tujuannya untuk mengurangi maraknya prostitusi,” papar Apik, pekan lalu.

Ia mengungkapkan sejumlah alas­an untuk menggulirkan perda berpoligami itu. Yang pertama ialah memang ada usulan dari para ulama. Alasan lain, data perbandingan penduduk bahwa warga perempuan lebih banyak daripada laki-laki. “Kami yakin, dengan membuat perda anjuran berpoligami, praktik prostitusi akan berkurang,” kata Apik.

Namun, belum juga setengah jalan, Ketua DPRD Pamekasan Suli Faris sudah membantah perda berpoligami menjadi bahasan dewan. “Usulan adanya perda berpoligami tidak memiliki dasar. Itu hanya keinginan segelintir orang.”

Suli menilai pembicaraan soal perda itu hanya wacana yang membuang-buang energi. Itu bahkan akan sangat menyita waktu karena banyak perdebatan pada persoalan yang tidak penting.
Wacana perda berpoligami, lanjut dia, sangat tidak mungkin dilanjutkan. Salah satunya karena sifat perda yang harus berlaku umum dan bersifat memaksa.

“Sampai hari ini tidak ada usulan maupun rancangan perda yang masuk program legislasi daerah yang berkaitan dengan poligami,” tandasnya.

Ketua Lembaga Pengkajian Kebijakan Daerah (LPKD) Pamekasan Heru Budi Prayitno meyakini perda berpoligami merupakan gagasan dari orang yang belum paham soal peraturan daerah. “Kasus ini menunjukkan bahwa sejumlah anggota DPRD kurang memahami tugas dan fungsi mereka. Semestinya, sebelum melontarkan gagasan, mereka harus mengkaji dampaknya.”


Larang pacaran

Perda berpoligami bukan satu-satunya usulan yang menjadi kontroversi. Jauh sebelumnya, pada 2009, Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Riau, juga menggagas aturan yang melarang muda-mudi berduaan di tempat umum hingga larut malam.

Meski menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, pemkab dan DPRD maju terus. Hasilnya, rancang­an perda disahkan menjadi perda pertama pada 2009 atau Perda Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penyakit Masyarakat.

Di dalam perda itu, pemuda dan pemudi boleh bercengkerama hanya sampai pukul 21.00 WIB setiap Senin hingga Jumat. Batas waktunya bertambah 1 jam atau menjadi 22.00 WIB untuk akhir pekan.

Perda itu juga dilengkapi rincian tempat umum yang dimaksud, yakni kompleks perkantoran Pemkab Rokan Hulu, taman kota, kantor bupati lama, dan Kompleks Lapangan Terbang Pasir Pangaraian. Lokasi-lokasi itu memang menjadi tempat favorit anak muda bercengkerama.

“Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Pemerintah sampai mengatur soal waktu pacaran warga,” kata Dian Puspitasari, 24, warga yang menolak perda itu.

Mewahiddin, yang kala perda itu dirancang masih menjabat Sekretaris Daerah Rokan Hulu, beralasan aturan itu dibuat karena banyak keluhan dari ulama dan masyarakat tentang aktivitas asusila remaja di tempat umum.

Meski bukan tergolong kontroversi, usulan Faisal Anwar Bagindo itu juga perlu diperhitungkan. Anggota DPRD Kota Sukabumi, Jawa Barat, itu mendorong pemerintah kota menerbitkan aturan penghentian kegiatan perdagangan saat memasuki waktu salat Jumat.

“Itu selaras dengan visi dan misi Pemkot Sukabumi yang rahmatan lilalamin. Idealnya memang saat memasuki waktu salat, semua aktivitas warga berhenti dulu,” tutur Faizal.
Sebelum itu terlaksana, lanjut dia, minimal bisa digulirkan dulu saat salat Jumat. “Dasar hukumnya bisa lewat peraturan wali kota atau surat edaran.” (BB/BG/Ant/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya