Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
FORUM Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Padang, Sumatra Barat, menyerukan masyarakat agar tetap menjaga harmoni dan tidak terpancing provokasi pascainsiden pembubaran aktivitas keagamaan di Koto Tangah, Minggu (27/7).
Ketua FKUB Padang, Prof. Salmadanis, menegaskan bahwa seluruh pihak harus menyikapi peristiwa ini dengan kepala dingin dan bijak, demi menjaga kerukunan di tengah masyarakat.
“Kami meminta agar tidak ada yang terpancing atau terhasut oleh tindakan provokatif terkait peristiwa dua hari lalu,” ujarnya, Selasa (29/7).
Ia memastikan FKUB tengah aktif memediasi kedua belah pihak yang berselisih, seiring proses hukum yang kini ditangani oleh Kepolisian.
"Mari percayakan penyelesaiannya kepada proses hukum yang sedang berjalan. Jangan kita ikut memperkeruh suasana," tegasnya.
Salmadanis mengajak seluruh elemen masyarakat untuk merawat persatuan dan kesatuan dengan mengedepankan toleransi. “Kita harus bersama-sama menjaga persatuan dan kesatuan NKRI dengan penuh sikap toleransi dan kerukunan,” katanya.
Ia menekankan bahwa FKUB sebagai forum lintas agama akan menjalankan fungsinya secara maksimal dalam memediasi dan menjembatani komunikasi antarumat beragama.
“Di FKUB, semua agama ada perwakilannya, dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, hingga Buddha. Kami bergerak bersama,” jelasnya.
Salmadanis mengatakan, FKUB Padang menyesalkan insiden ini. "Sebagai FKUB menyesal. Tentu yang telah terjadi, kita sebagai FKUB, satu, melakukan mediasi, kedua, dialog antarumat beragama, dan ketiga, mencari solusi kerukunan, ketahanan, toleransi beragaman menjadi skala prioritas," jelasnya.
Agar tidak terjadi provokator dan anarkis di tengah masyarakat, pihaknya juga akan mengantisipasinya. Hal ini telah dimulai dengan mengadakan rapat maraton dengan pemuka agama Kristiani, dengan tokoh masyarakat lainnya.
"Dan jam 4 sore ini dengan tokoh agama Islam. Tempatnya di kantor Camat Koto Tangah. Besoknya jam 2, pertemuan antara kelompok lintas agama semua," tukasnya.
Peristiwa pembubaran aktivitas ibadah di Padang kembali menjadi cermin betapa rentannya harmoni umat beragama di tengah masyarakat Indonesia. Namun yang lebih berbahaya, menurut Ketua FKUB Sumatra Barat, Prof. Duski Samad, bukan hanya gesekan itu sendiri, melainkan resonansi sosial yang ditimbulkannya.
"Resonansi gesekan umat lintas agama adalah ketika sebuah peristiwa lokal, seperti pembubaran ibadah, tidak berhenti di tempat itu saja. Ia akan bergema ke ruang publik lebih luas melalui media sosial, pemberitaan, hingga opini masyarakat," kata Duski, Selasa (29/7).
Duski menegaskan, fenomena ini kerap menimbulkan efek berantai. Sebuah kasus yang awalnya spesifik dan kontekstual, seperti persoalan izin atau miskomunikasi, sering dipersepsikan sebagai persoalan besar antara mayoritas dan minoritas.
“Inilah yang menjadi berbahaya, ketika resonansi menciptakan persepsi ketidakadilan atau diskriminasi sistemik, padahal seringkali masalahnya bersifat lokal dan personal,” jelasnya.
Duski menyoroti bahwa resonansi muncul lebih kuat di lingkungan yang rentan, yakni ketika antarumat beragama kurang saling mengenal atau tidak memiliki ruang interaksi yang cukup.
"Ketika akulturasi lemah, komunikasi minim, maka prasangka akan cepat berkembang, sekecil apapun gesekannya," tegasnya.
Ia mengingatkan, situasi ini dapat dengan mudah memicu eskalasi opini publik yang lebih luas, terutama di era media sosial yang serba cepat.
“Kasus di Padang bisa bergema menjadi tekanan nasional bahkan internasional jika tidak dikelola dengan pendekatan yang arif,” tambahnya.
Menurut Duski, salah satu kunci untuk meredam resonansi ini adalah dengan manajemen konflik berbasis kearifan lokal dan komunikasi publik yang transparan. Ia menekankan pentingnya musyawarah, mediasi, dan kejelasan informasi kepada publik.
Menurutnya, dalam beberapa kasus, konflik atau gesekan tidak berlanjut karena adanya kearifan lokal seperti musyawarah antarwarga, peran tokoh adat/agama, dan pendekatan kekeluargaan sehingga ketegangan dapat diselesaikan tanpa memunculkan polarisasi.
"Di Sumatra Barat, falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bisa menjadi kerangka penyelesaian: menegakkan prinsip keadilan, menjaga martabat semua pihak, dan mengedepankan dialog," katanya.
Peristiwa bermula saat sejumlah warga merusak sebuah rumah doa milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Koto Tangah, Minggu sore. Mereka memecahkan kaca jendela dengan balok kayu dan membubarkan aktivitas ibadah serta pendidikan agama yang tengah berlangsung.
Rekaman video aksi anarkis ini viral di media sosial, memperlihatkan kepanikan para ibu yang bergegas menyelamatkan anak-anak mereka di tengah amukan massa. Akibat insiden tersebut, dua jemaat mengalami luka-luka.
Pihak Kepolisian yang tiba di lokasi langsung mengamankan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan menenangkan situasi. Hingga kini, sebanyak sembilan orang diamankan terkait aksi pengerusakan tersebut.
Wakapolda Sumbar, Brigjen Solihin, mengingatkan masyarakat untuk tidak mengambil tindakan main hakim sendiri. "Jangan masyarakat gegabah, jangan bertindak anarkis. Semua ada hukum, siapa berbuat tentu akan menanggung," ujarnya.
Malam harinya, mediasi dilakukan di Kantor Camat Koto Tangah yang dihadiri perwakilan kedua pihak, FKUB, dan unsur Forkopimda. Wali Kota Padang, Fadly Amran, menegaskan bahwa peristiwa ini murni kesalahpahaman, bukan konflik agama.
“Kita harus memahami luka perasaan saudara-saudara kita yang mengalami tindakan peerusakan, bahkan ada korban luka. Ini bukan perselisihan agama, melainkan insiden kesalahpahaman,” ujar Fadly.
Ia menambahkan, untuk aspek hukum, proses akan berjalan sebagaimana mestinya. “Kesalahpahaman sudah clear. Bahwa insiden ini tidak terkait SARA. Untuk tindakan pidana, akan ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
Pendeta F. Dachi M.Th, dari GKSI, mengungkapkan bahwa rumah yang dirusak warga tersebut selama ini hanya difungsikan sebagai tempat pendidikan agama bagi anak-anak jemaat, bukan sebagai gereja.
“Sebagian warga mengira rumah ini adalah gereja, padahal ini hanya tempat pendidikan agama bagi anak-anak Kristen,” katanya di hadapan Wali Kota Padang.
Ia juga menyoroti kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri yang kerap dijadikan alasan pembatasan pendirian rumah ibadah. “Ini peraturan paling konyol yang masih dipakai negara untuk mengontrol jumlah gereja di Indonesia dan dijadikan alasan pembredelan oleh oknum intoleran,” ujarnya.
Pendeta Dachi menegaskan, pihaknya akan tetap mengedepankan jalan damai dan berharap peristiwa ini menjadi momentum memperkuat dialog lintas agama di Kota Padang. (YH/E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved