Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
TERIK matahari di pesisir Kampung Sasak, Pasaman Barat, Sumatra Barat, tidak meredupkan semangat Rahmat mengembangkan jaring pukat. Begitu jaring usang tersebut terkembang di bibir daratan, dengan tekun Rahmat membersihkannya. Inilah rutinitas saban hari bagi pria 57 tahun itu sebagai persiapan menjaring ikan di malam hari. Rutinitas Rahmat dari hari ke hari memang tidak banyak berubah. Namun, tidak demikian dengan daerah pesisir yang menjadi tempat hidupnya.
Dampak gerusan ombak makin nyata di sana. Hanya berjarak beberapa meter dari tempat Rahmat berdiri, misalnya, abrasi itu sudah membuat fondasi Musala Nurul Ikhlas yang menghadap laut terkoyak. Puluhan karung pasir digunakan warga untuk membuat musala 'pincang' itu bertahan. Namun, bila air pasang, tetap saja teras musala terendam. Entah tinggal berapa hari lagi saat berjemaah masih bisa dinikmati warga di musala itu.
"Dulu musala ini berdiri sekitar 1 km dari laut, tapi sekarang (di sini) sudah menjadi lautan," ucap Rahmat kepada Media Indonesia, Oktober lalu. Abrasi diyakini Walinagari Sasak, Arman, telah terjadi sejak 10 tahun lalu. Dampaknya tidak hanya pada musala tersebut, tetapi juga pada ratusan rumah yang kini hanya tinggal puing. "Abrasi telah menyebabkan ratusan rumah ambles dan mendorong penghuninya untuk menyingkir dari pantai," kata dia.
Sasak memiliki panjang pantai sekitar 16 kilometer. Di halaman depannya terbentang samudra Indonesia. Ketiadaan pulau ataupun daerah mangrove membuat ombak menerjang dengan mudahnya. Tinggi ombak di pesisir itu mencapai 2-2,5 meter. Sejak 2013, jelas Arman, telah 146 kepala keluarga (KK) dipindahkan ke Kampung Nelayan di Jorong Padang Laban.
"Abrasi terjadi sepanjang 7 kilometer dari Jorong Pasa Lamo-Jorong Pondok. Pada 2013, telah dipindahkan 146 KK ke Kampung Nelayan, Jorong Padang Laban. Sebelumnya ada 64 KK," tukasnya.
Tersingkir ke bekas rawa
Kampung Nelayan, Jorong Padang Laban, masih berada di teritorial Sasak. Dulunya itu bekas rawa-rawa dan lahan perkebunan sawit. Untuk menampung warga korban abrasi, dinas kelautan dan perikanan serta dinas sosial setempat mendirikan rumah panggung bermaterial kayu. Kampung tersebut bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor, sekitar 15 menit atau berjarak kira-kira 3 kilometer dari desa asal. Jumlah rumah yang didirikan telah mencapai 210 unit dengan rincian 64 unit merupakan rumah yang dibangun pada 2007 dan 146 unit yang dibangun pada 2012.
Rumah berukuran 6x5 meter itu dibangun berjarak 300 meter dari bibir pantai. Ernawati, salah seorang korban abrasi yang tinggal di Kampung Nelayan, mengutarakan rumah tersebut diperuntukkan korban abrasi yang tercatat memiliki riwayat rumah di kampung sebelumnya. Namun, persoalan lain muncul ketika rumah panggung itu sudah semuanya terhuni, sedangkan warga korban abrasi terus berdatangan. Maka tidak ada pilihan lain bagi warga baru selain mengontrak rumah atau menumpang tinggal sementara.
Tidak hanya persoalan ketersediaan tempat tinggal, relokasi itu juga menyisakan masalah sosial. Banyak warga masih gagap untuk memulai pencaharian baru. Perubahan mata pencaharian memang tidak bisa cepat dilakukan mengingat 75% dari 15 ribu jiwa warga Kampung Sasak sudah terbiasa dengan budaya bahari. Selain sebagai nelayan, mereka dikenal sebagai produsen ikan asin. Untuk menghasilkan ikan asin, diperlukan hamparan pasir yang cukup luas yang tentunya telah menjadi langka sejak abrasi terjadi.
Maka kini banyak ibu hanya bisa duduk-duduk seiring dengan hari berlalu. Padahal, sebelumnya mereka dikenal sebagai perempuan yang ikut menjadi tulang punggung keluarga dengan memproduksi ikan asin. "Dulu menjemur ikan laut menjadi ikan asin. Kini lebih banyak duduk di rumah karena jauh dari laut," ujar seorang ibu bernama Ernawati. Hanya beberapa warga yang masih memiliki simpanan uang bisa memulai usaha, seperti membuka warung kecil-kecilan. Ada pula yang bisa mendapatkan udang waring dan menjemurnya di halaman sempit kawasan itu.
Batu grib obat abrasi
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Kabupaten Pasaman Barat Tri Wahluyo mengatakan pihaknya telah menanggulangi abrasi dengan memasang tanggul bronjong dan mengeruk muara Sungai Batang Ampu (Pondok). Bronjong tersebut dipasang pada 2013-2015. Untuk tahun ini, Tri mengaku pengerjaannya terhenti karena persoalan anggaran.
"Sedang berhenti karena waktu akan dikerjakan dengan tender tidak terkejar lagi. Padahal ini darurat. Kelanjutan kita ajukan PSDA dengan anggaran Rp200 juta," jelasnya.
Dia menceritakan, pada 2015, sebanyak 400 bronjong dengan panjang 1,5 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 0,5 meter dibangun di Pondok dengan anggaran Rp250 juta dari APBD perubahan provinsi. Di sisi lain, grib (sekumpulan batu pemecah ombak yang menjorok ke laut) baru berjejer puluhan yang dibangun pada 2015. Menurut Arman, grib paling ideal menangkal abrasi di Sasak karena dianggap bisa memecah ombak sebelum mendarat. "Satu-satunya obat dari abrasi adalah grib, sebab Sasak tidak memiliki pulau," pungkasnya.
(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved