Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Bukan Barak Militer, Siswa Lebih Butuh Dilatih Berdialektika

Ardi Teristi Hardi
21/5/2025 23:32
Bukan Barak Militer, Siswa Lebih Butuh Dilatih Berdialektika
Pendiri Gerakan Turun Sekolah (GTS), Muhammad Nur Rizal.(MI/Ardi Teristi)

PENDIRI Gerakan Turun Sekolah (GTS), Muhammad Nur Rizal menilai, hukuman di barak militer hanya akan berdampak sementara. Para pelajar menurut dia, lebih membutuhkan pendidikan dialektika.

"Dengan adanya dialektika, para siswa juga bisa belajar melakukan koreksi diri (self correction)," kata dia.

Menurut dia, miiterisme hanya akan menjadikan siswa penurut. Padahal, yang dibutuhkan siswa adalah memantik siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif.

Dalektika, lanjut dia, merupakan sebuah unsur penting yang perlu ditemukan di sekolah. Dialektika sangat terkait dengan kehidupan sehari-sehari.

Jika dialektika hilang di sekolah, ia khawatir, Indonesia akan menghadapi bencana demografi karena anak-anak mudanya tidak punya mimpi, tidak bisa berdialektika, berefleksi, dan mendapatkan akses terhadap keadaan karena mereka memilih untuk menutup diri.

Untuk menumbuhkan dialektika, tutur Rizal, dunia pendidikan harus kembali ke akarnya, yakni pembebasan pikiran, dan memberikan ruang-ruang keberagaman sehingga bisa saling menghargai dan berdialektika.

Peran guru perlu dikembalikan kepada hakikatnya. Guru seharusnya bukan tukang transfer pengetahuan tetapi penumbuh karakter dan budi pekerti yang bisa membangkitkan potensi-potensi siswa seperti keingintahuan, imajinasi, dan passion sehingga mereka mencapai versi terbaik diri mereka.

Untuk itu, seorang guru harus berdaulat. "Guru harus diberi ruang agar jiwanya bisa menentukan cara mengajar menurut mereka sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus memberikan ruang filsafat tersebut agar para guru bisa berdaulat," tutup Rizal.

Pentingnya pendidikan dialektika ini terkonfirmasi dalam Gerakan Turun Sekolah (GTS) yang dilakukan oleh sekitar 90 mahasiswa. Mereka berjumpa dan berdialog dengan sebanyak 600 siswa di 11 sekolah pada 7-9 Mei 2025. Sekolah-sekolah yang dipilih adalah yang masuk dalam jejaring Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Apa yang kami temukan di lapangan ternyata kebijakan pemerintah selama ini tidak menjawab kebutuhan mereka (siswa)," ujar salah satu volunteer GTS, Eunike Sekar di Yogyakarta, Selasa (20/5).

Tidak berani bermimpi
Sekar mencontohkan, ketika berdialog, banyak siswa tidak memiliki mimpi dan tidak berani bermimpi. "Sekolah hanya sekadar rutinitas yang membosankan. Mereka (para siswa) tidak suka dengan gurunya, dan sekolah dianggap tidak menyenangkan. Akhirnya, mereka pun mencari-cari sendiri kesenangan mereka," kata Sekar.

Volunteer yang lain, Aliya Zahra menceritakan, kegiatan ini mendialogkan dengan para siswa tentang hal-hal simpel, seperti mimpi-mimpi dan keinginan yang sederhana. "Justru banyak yang menjawab keinginan memiliki sekolah yang roto, sekolah gratis," terang Aliya.

Aulia Afna, relawan GTS lain, apa yang ditemukannya tersebut membuktikan hipotesis bahwa para siswa membutuhkan percakapan yang mendalam (deep talk), bukannya pembelajaran mendalam (deep learning) seperti yang menjadi kebijakan pemerintah.

"Seperti podcast, saya kira itu perlu diperbanyak agar juga menjadi refleksi bagi pihak sekolah. Karena pendidikan mesti dibangun di atas banyak pilar seperti sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri. Jika antara pilar-pilar itu tidak bekerja sama ya menjadi susah," kata Aulia.

Dengan turun ke sekolah, anak-anak muda yang menjadi relawan GTS bisa menyuarakan keprihatinan yang terjadi di level akar rumput tersebut. Hari Kebangkitan Nasional menjadi momentum buat mereka untuk menjadi Budi Utomo-Budi Utomo baru yang berani melakukan advokasi.

Ia berharap, gerakan ini terus meluncur menjadi kebangkitan baru anak-anak muda yang terus berisik dan berteriak untuk menyadarkan secara kolektif bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. "Kami juga berharap komunitas lain mau turun sehingga kesadaran kolektif ini bisa jadi sebuah kekuatan," tutup Rizal. (E-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Heryadi
Berita Lainnya