Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
SIANG itu terik matahari cukup menyengat. Namun, masih ada angin bertiup semilir. Bau asap knalpot tercium dari jarak ratusan meter. Makin mendekat, polusi udara makin menebal. Tak lama kemudian puluhan mesin-mesin puso meraung dengan keras. Kemudian, tambang baja yang terlilit di gulungan kayu besar diputar. Tali baja terus berputar. Makin atas, suara mesin bertambah kencang. Sekitar 200 meter lebih tali baja itu digulung cepat. Sejuruh kemudian pipa baja dengan diameter 5 meter itu keluar dan menyentuh tanah. Byuur! cairan kuning kecokelatan muncrat dari ujung bawah pipa yang menyentuh tanah.
Paralon baja itu digantung tiga pasak setinggi 12 meter. Cairan berbau belerang menyengat itu mengalir di kolam penampungan. Warnanya hitam kehijauan. Airnya mengendap, cairan kental mengambang. Air mengucur ke penampungan bawah melalui pipa berukuran diameter 2 meter. Setelah cairan itu habis, paralon baja ditarik kembali. Begitu seterusnya. Itulah aktivitas sehari-hari pertambangan minyak tradisional di hutan Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Bojonegoro, Jawa Timur.
Tiga tahun lalu, sejumlah penambang masih menarik seling baja dengan tangan telanjang. Aktivitas semacam itu biasa dilakukan buruh tambang minim modal. Dahulu untuk mendapatkan lantung (minyak mentah), para buruh harus menuruni lembah dan menarik tali baja yang panjangnya ratusan meter dengan tangan. Seperti halnya mesin, para kuli minyak ini harus menangkap pipa lantung dari perut bumi. Dalam sehari, perolehan lantung hanya satu drum yang terangkut ke atas. Namun, hati para kuli minyak sudah puas. Seiring perubahan zaman, saat modal diperoleh, buruh tambang mengganti tenaganya dengan mesin.
Puluhan mesin puso yang meraung setiap hari itu menjadi pengganti tenaga para buruh. Kegiatan tersebut berlangsung sejak subuh hingga petang hari. Praktik tambang minyak dikerjakan masyarakat setempat di tengah hutan. Namun, kini kawasan hutan yang ditambang itu sudah nyaris tanpa tanaman. Mungkin sudah belasan atau hingga puluhan hektare kawasan hutan di sekitar itu rusak parah akibat penambangan minyak tradisional, dan entah sejak kapan ribuan batang pohon jati di tempat itu juga ditebang habis untuk keperluan tambang minyak.
Pun juga demikian, air yang mengalir di sungai jauh dari jernih. Buih cokelat kehitaman mendominasi aliran air di sekitar lokasi tambang. Ya, besar kemungkinan karena tercemar akivitas pertambangan di kawasansetempat. Masyarakat sekitar kawasan hanya tahu, ratusan sumur minyak itu sudah dikelola sejak masa kolonial Belanda. Hingga kini, kawasam itu terus dieksplorasi ratusan penambang tradisional.
Modal besar
Meski demikian, penambang bukan cuma-cuma mendapatkan lantung itu. Buruh angkut minyak itu mesti keluarkan kocek cukup besar dari kantongnya. "Sekarang kita mesti punya uang sekitar Rp200 juta-300 juta untuk bisa dapat minyak," ungkap Baginda, 34, buruh tambang kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu. Besaran angka modal yang dikeluarkan disebabkan harga peralatan yang diperlukan sangat mahal. Misalnya, untuk membeli truk bekas, tak cukup duit Rp75 juta yang dikeluarkan. Begitu juga pembelian paralon besi dan tambang baja yang dimodifikasi untuk menimba minyak dari perut bumi.
Dana ratusan juta itu diperoleh dari patungan belasan orang yang akan mengelola sumur minyak tersebut. Disamping itu, para pengelola juga harus menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk biaya persiapan menguras sumur hingga minyak keluar. "Itu dananya besar, mas. Kita mesti siap enggak dapat minyak untuk dua minggu hingga sebulan. Ya, kita harus mbabat alas (kerja keras) dulu," ujar Baginda. (N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved