Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Tindakan Preventif Jadi Model Ideal Kelola Hutan

Putri Rosmalia Octaviyani
20/10/2016 01:05
Tindakan Preventif Jadi Model Ideal Kelola Hutan
(ANTARA/IRWANSYAH PUTRA)

SETIAP tahun secara alamiah Indonesia diyakini akan mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hutan tropis akan mudah terbakar saat kemarau panjang menghampiri. Namun, tidak bisa dihindari, penyebab lain terjadinya karhutla di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Provinsi Sumatra dan Kalimantan serta Papua ialah ulah individu atau korporasi yang tidak bertanggung jawab. Mereka membuka lahan dengan cara membakar semak belukar, bahkan tumbuhan hutan sehingga api sulit dikendalikan.

Puncaknya pada 2015, Indonesia mengalami kebakaran hutan yang dahsyat diikuti korban jiwa dan dampak asapnya hingga ke negara tetangga. Sebuah pelajaran berharga bahwa upaya preventif dilengkapi kesiapsiagaan lebih baik dilakukan sebelum kebakaran terjadi lagi dan meluas.

Belajar dari pengalaman itu pula, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah daerah, serta TNI/Polri beserta aparatnya di daerah bahu-membahu berkoordinasi mengadakan operasi pencegahan dan penanggulangan karhutla.

Koordinasi tersebut semakin diperkuat karena karhutla yang kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia terjadi akibat akumulasi dari berbagai persoalan yang muncul secara alami ataupun karena kesengajaan manusia. Kerja sama yang erat tersebut ternyata membuahkan hasil dengan menurunnya jumlah titik api secara drastis jika dibandingkan dengan 2015 dan jumlah atau cakupan lahan yang terbakar.

Untuk menangani lahan yang telanjur terbakar tim karhutla tidak segan-segan memadamkannya dengan operasi water bombing, seperti yang terjadi di wilayah pesisir maupun daratan di Riau yang sebelumnya merupakan wilayah ‘langganan’ karhutla. Di sana, mayoritas lahan terbakar merupakan wilayah open access atau akses bebas seperti di Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir.

Lahan akses bebas ini merupakan bekas kawasan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), tapi karena izin sudah habis dan tidak diperbarui sehingga menjadi tak terkelola. Contoh dalam tiga tahun terakhir, kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu terbakar akibat aksi oknum perambah karena adanya akses bebas. Masalah open access ini juga terjadi di kawasan hutan lindung atau konservasi daerah lain di Riau.

Kementerian LHK juga sudah mendata selain di Riau, wilayah open acces juga tengah terjadi di Pulau Kalimantan. “Kita akan benahi sistem pengelolaan kawasan hutan produksi dengan cara melarang praktik open access karena berpotensi memicu pembalakan liar. Selain itu perlu ada patroli dan hindari praktik open access oleh swasta pemegang izin pengelolaan hutan,” tegas Menteri LHK Siti Nurbaya. KLHK juga telah mengidentifikasi bahwa praktik pengelolaan akses bebas bisa menimbulkan dampak terhadap pembalakan liar dan menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan.

Tetap waspada
Tahun ini karhutla jauh menurun jika dibandingkan dengan satu tahun terakhir akibat adanya fenomena kemarau basah atau mendinginnya suhu muka air laut di Samudra Pasifik. Kondisi tersebut mendorong bertambahnya suplai uap air bagi Indonesia sehingga curah hujan cenderung meningkat. Ditambah lagi, sejumlah pemerintah provinsi seperti di Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, telah menetapkan status Siaga Darurat Penanggulangan Karhutla. “Penurunan titik panas juga tidak lepas dari upaya tiada henti dari tim terpadu di lapangan,” ucap Menteri Siti.

Masalah karhutla yang sering terjadi di Tanah Air diakui sangat menyita waktu dan perhatian pemerintah. Namun demikian, menurut Siti, pengelolaan hutan ke depan harus dilakukan secara holistis untuk dapat menekan karhutla, menata wilayah konservasi, dan mengambil manfaat hutan secara berkesinambungan dan bertanggung jawab. Untuk itu, berbagai pendekatan perlu dilakukan termasuk pendekatan sosial untuk digunakan menyelesaikan berbagai isu dan masalah dalam pengelolaan hutan di masa depan. “Pentingnya pendekatan sosial juga untuk menjawab tantangan pengelolaan hutan pada level regional maupun global.”

Dijelaskan pentingnya pemanfaatan berbagai macam ilmu untuk mengelola kehutanan, misal untuk keperluan mitigasi perubahan iklim yang sangat berhubungan dengan pengelolaan hutan dari sektor berbasis lahan. Bahkan, komitmen Indonesia telah diterjemahkan ke dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dengan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29%, termasuk 16% pengurangan dari sektor berbasis lahan, perubahan lahan dan hutan.

Selain itu, dibutuhkan dalam memastikan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat. Hutan juga harus dikelola secara berkelanjutan untuk meningkatkan perekonomian dan memajukan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat, dan dalam waktu bersamaan keseimbangan ekonomi dan lingkungan tetap terjaga. “Upaya melestarikan dan menjaga keseimbangan ekologi, keanekaragaman hayati, dan keberadaan sumber daya alam sebagai pendukung kehidupan juga menjadi bagian dari bagaimana pendekatan sosial diterapkan karena berkaitan dengan masyarakat,” pungkas Siti. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya