Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Jelaga Hitam di Kampung Melong

Depi Gunawan
19/10/2016 00:45
Jelaga Hitam di Kampung Melong
(MI/DEPI GUNAWAN)

ASAP mengepul di cerobong milik sejumlah pabrik di Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Orang-orang yang lalu lalang di permukiman kumuh di sekitar pabrik tidak seluruhnya mengenakan masker. Kawasan itu merupakan konsentrasi pabrik-pabrik besar dan di sana biasanya kerap terjadi berbagai masalah lingkungan. Mulai polusi udara, pencemaran air, memburuknya kesehatan warga, hingga permukiman kumuh. Keberadaan industri di Cimahi dari satu sisi bisa memicu pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain kawasan industri juga memicu persoalan lingkungan. Permasalahan limbah pabrik merupakan masalah klasik bagi daerah yang memiliki kawasan industri. Kantor Lingkungan Hidup Kota Cimahi pernah mengambil sampel di tiga pabrik besar di Kelurahan Melong, untuk mengetahui kadar air di sana.

Hasilnya kualitas air yang melintasi permukiman warga tergolong buruk. Air yang mengalir ke Kelurahan Melong tidak sehat dipakai untuk keperluan sehari-hari. Warga akhirnya membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari Rp2.500 per jeriken dengan ukuran sekitar 15 liter. Dadang, warga Melong, mengungkapkan banyak pabrik tekstil berdiri di wilayahnya. Pabrik-pabrik tekstil mulai marak sejak akhir 1980-an. "Sejak banyak pabrik, kami mulai menemui banyak persoalan. Debu warna kehitam-hitaman sering masuk ke rumah warga. Ada pembakaran batu bara di pabrik-pabrik. Air tanah juga menguning," jelas Dadang.

Selain Kelurahan Melong, kelurahan lainnya, yakni Kelurahan Utama dan Leuwigajah, kerap tercemari polusi dan limbah pabrik. Menurutnya, sekitar 2003, warga Melong sempat mengadu ke Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Cimahi. Petugas dari KLH Cimahi datang ke lokasi pabrik dan sekitarnya. Namun, hasil pemantauan tersebut tidak berbuah positif. Petugas dari KLH Cimahi terakhir datang ke Melong pada tahun lalu. Namun, hasilnya tidak ada perkembangan positif bagi warga. Bau limbah, debu dari hasil pembakaran batubara, dan kuningnya air di permukiman warga masih ada.

Pernah terjadi kerusakan mesin di sebuah pabrik di Melong. Akibatnya rumah warga di sekitar pabrik diselimuti asap keabu-abuan yang tergolong tebal. "Kayak gunung meledak. Banyak yang sesak napas," ujarnya. Buruknya kualitas lingkungan di kawasan industri Kelurahan Melong, Cimahi Selatan, mendapat perhatian para wakil rakyat. Anggota Komisi III DPRD Kota Cimahi, Robin Sihombing, yang menangani masalah lingkungan hidup mengakui kasus yang terjadi di Melong sudah cukup lama, tetapi sampai sekarang tidak pernah ada solusinya. "Kita selalu berkoar ke pemkot dalam rapat yang digelar agar persoalan limbah segera diselesaikan," ujar Robin.

Menurutnya, dari sisi aturan sudah cukup baik. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta perda sudah diatur soal pembuangan limbah industri. Setiap pelanggar yang terbukti membuang limbah industri sembarangan akan dikenai sanksi pencabutan izin dan denda maksimal Rp5 miliar. "Apa pun aturannya, jika tidak ada implementasi nyata, akan sia-sia. Pemkot Cimahi masih lemah menindak perusahaan bandel yang membuang limbah tanpa diolah makanya banyak pabrik tetap berani mencemari lingkungan," ujarnya.

Cuma, lanjut Robin, acap kali kasus pencemaran limbah itu cukup sunyi di kalangan masyarakat setempat. Ada dugaan bahwa pengusaha telah memberikan uang tutup mulut agar masalah limbah tidak mengemuka. "Apalagi pengawasan pengolahan limbah pabrik di perusahaan-perusahaan susah diawasi. Pada umumnya perusahaan berani mengeluarkan biaya besar untuk menutup mulut sejumlah pihak. Tapi kalau (pemerintah) bersikap tegas dan tidak pilih kasih dalam menindak, praktik seperti itu bisa dihilangkan," kata Robin.

Pembangunan IPAL terpadu
Pendapat lain datang dari anggota Komisi III DPRD Kota Cimahi, Barkah Setiawan. Barkah mendesak Pemkot Cimahi harus segera membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu. Alasannya jika setiap pabrik harus membangun IPAL masing-masing, nantinya akan menemukan kendala. "Terutama keterbatasan lahan. Dengan keterbatasan lahan ini, banyak perusahaan membuang limbah cair mereka ke sungai," ujar Barkah. Dengan adanya IPAL terpadu, ia berharap pencemaran limbah cair bisa berkurang. "Ini akan jadi kajian kita ke depan terkait dengan pengolahan limbah," tegasnya.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Cimahi, Ade Ruhiyat, saat menanggapi pencemaran limbah di sungai-sungai mengatakan masalah itu disebabkan banyak perusahaan besar yang sulit diawasi. "Terutama pengolahan limbahnya. Rata-rata perusahaan yang ada di Cimahi sudah ada saat Cimahi masih bergabung dengan Kabupaten Bandung. Kota Cimahi baru menjadi otonom 14 tahun lalu," terangnya. Saat ini ada 160 perusahaan besar dan menengah bercokol di Kota Cimahi. Sebagian perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur tekstil itu berdiri sejak akhir 1980-an. Sementara itu, rencana pembuatan IPAL terpadu hingga kini masih menjadi wacana karena sulitnya mencari lahan yang luas.

Pemkot Cimahi dan DPRD Kota Cimahi sudah membahas pembuatan IPAL terpadu itu. "Tinggal tekad dari pemkotnya," ujar Barkah. Untuk membangun IPAL terpadu minimal dibutuhkan lahan sekitar 1-5 hektare. Lahan seluas itu, lanjut Barkah, bisa diperoleh di daerah-daerah yang berbatasan dengan wilayah lain, tapi dekat dengan kawasan industri. "IPAL terpadu itu memang tidak bisa dibangun di dalam kota," kata Barkah. Biaya pembangunan bisa memanfaatkan corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan. "Daripada CSR hanya untuk program yang kurang bermanfaat, lebih baik untuk membangun IPAL terpadu. Dampaknya lebih bagus untuk lingkungan," usul Barkah. (N-3) [email protected]



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya