Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
KASUS penggandaan uang yang dilakukan Taat Pribadi, pemilik dan pemimpin Pedepokan Dimas Kanjeng, merupakan pertanda masyarakat Indonesia sedang mengalami skizofrenia kultural.
Istilah gangguan mental yang umumnya melekat pada kesehatan, rupayanya juga terjadi di lingkungan sosial-budaya.
Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan fenomena semacam itu bukanlah hal baru di Tanah Air.
Dalam satu abad terakhir, kondisinya kian memprihatinkan lantaran sistem pendidikan yang diterapkan bersifat kontinental dengan mengutamakan akal.
“Di Eropa, mereka sepenuhnya berpikir pakai akal. Kalau kita, enggak. Selain kesadaran akal, ada juga kesadaran mental, spiritual, dan psikis. Kadang-kadang ini yang enggak sejalan, akhirnya menimbulkan ilusi,” ujar Radar saat dihubungi Media Indonesia, Jumat (6/10).
Padahal, menurut Radhar, etika dan pemikiran dasar seseorang tidak bisa dikacaukan melalui kehadiran pemahaman baru yang datangnya justru dari pendidikan.
“Seharusnya, pemerintah dapat mengintegrasikan antara pendidikan kontinental dengan ajaran primordial nenek moyang,” sarannya.
Sosiolog Imam B Prasodjo menanggapi kasus Dimas Kanjeng ini disebabkan dua faktor. Pertama, kentalnya kepercayaan terhadap hal irasional. Kedua, kecenderungan orang untuk mencari jalan pintas saat mengalami ketidakberdayaan dalam hidup sehari-hari. “Kita ini masih dalam masa transisi antara irasional dan rasional,” ucap Imam.
Kasus Taat Pribadi ini juga mendapat sorotan dari Ikatan Pesantren Indonesia (IPI). Lembaga tersebut sempat menggelar pertemuan dengan pengurus pesantren di Jawa Timur untuk mengevaluasi dan meneguhkan kembali tradisi pesantren.
“Kami sangat prihatin dan menyayangkan kejadian ini. Janganlah agama dijadikan tameng atau kedok untuk kegiatan yang meresahkan umat,” tegas KH Ahmad Zaini, Ketua Umum IPI, kemarin. Menurutnya Pedepokan Dimas Kanjeng bukan pesantren.
Tetap bertahan
Di Pedepokan Dimas Kanjeng di Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, para pengikutnya masih bertahan di tenda-tenda.
“Jumlahnya berubah-ubah. Mereka keluar masuk. Kadang jumlahnya puluhan orang di siang hari. Namun, pada malam hari bisa mencapai 300 orang,” ujar Slamet Hariyanto, Camat Gading.
Mereka pada umumnya berasal dari luar Probolinggo, antara lain dari Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Sulawesi, Sumatra, dan Kalimantan.
Tidak sedikit pengikut yang membawa keluarga, termasuk anak-anak untuk tinggal di pedepokan. Anak-anak pengikut Taat Pribadi ini mengenyam pendidikan di SDN Gadingwetan dengan status dititipkan untuk belajar. “Mereka tidak memiliki surat pindah dari sekolah asal.”
Dari Kalimantan Barat, sebanyak 15 warga masih bertahan di Pedepokan Dimas Kanjeng. Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Suhadi SW menduga mereka tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos. Ia meminta pemerintah daerah bisa memfasilitasi kepulangan mereka.
Demikian juga sejumlah pengikut dari Sumatra Selatan dan Sidoarjo hingga kini belum pulang. Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan Taat Pribadi sebagai tersangka kasus penipuan pada Jumat (7/10). (Tim/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved