Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Ombak Mentawai tidak lagi Gratis

Yose Hendra
08/10/2016 06:01
Ombak Mentawai tidak lagi Gratis
(ANTARA/HAFIDZ MUBARAK A)

DI dermaga Pelabuhan Muara, Kota Padang, Sumatra Barat, Marcus menjadi gundah.

Peselancar asal Amerika Serikat itu diharuskan membayar restribusi jika ingin berselancar di Mentawai.

Besarannya Rp1 juta untuk berselancar 15 hari dan dapat digunakan di berbagai spot selancar yang ada di kepulauan itu.

Meski mengaku sudah mengetahui aturan retribusi itu dari internet, Marcus tetap menolak membayar.

Selain Marcus, dalam rombongan berjumlah 20 orang itu ada 11 turis asing lainnya yang juga menolak membayar.

Para turis yang sudah bersiap naik ke kapal cepat Mentawai Fast itu kebanyakan berasal dari Brasil.

"Saya tidak mau membayar. Selama empat bulan saya di Indonesia hanya punya uang Rp9 juta," tukas Marcus, Senin (26/8).

Pria yang sudah sejak 22 tahun lalu kerap datang ke Mentawai itu menyayangkan aturan retribusi.

Menurutnya, tidak semua peselancar memiliki banyak uang, kebanyakan justru backpacker.

Namun, alasan Marcus tidak diterima Kepala Dinas Pariwisata Mentawai Desti Samaloisa.

Desti yang hari itu juga akan menaiki kapal Mentawai Fast ke Siberut menegaskan kepada para peselancar bahwa mereka tetap tidak bisa berselancar jika tidak membayar.

"Di spot surfing, ada dua petugas yang ditempatkan untuk melakukan pengawasan. Bagi yang membayar, mereka dikasih gelang karet dan semacam tiket masuk ke arena surfing," tutur Desti.

Selain di lokasi selancar, meja retribusi tiket ditempatkan di dermaga-dermaga, seperti halnya di Dermaga Muara itu.

Saat ini dari 72 titik selancar di mentawai, 42 sudah dikategorikan berbayar.

Dua di antaranya titik yang masuk lokasi selancar unggulan di dunia, Lance's Righ di Katiet (Sipora Selatan), Makaronis (Pagai utara).

Retribusi selancar itu dikawal tiga peraturan daerah (perda) Kabupaten Mentawai, yakni Perda No 1/2015 tentang Kepariwisataan, Perda No 2/2015 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Wisata Bahari, dan Perda No 8/2015 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.

Hadirnya retribusi yang berlaku sejak 1 Agustus 2016 pun ramai dibicarakan di situs-situs selancar internasional.

Banyak peselancar kaget karena memang aturan itu langka.

Wilayah lain yang diketahui menerapkan aturan berbayar untuk berselancar hanyalah di Cornwall, Inggris, yang berlaku sejak musim panas tahun ini.

Baik Cornwall maupun Mentawai tampak punya tujuan sama, yakni meningkatkan pendapatan daerah.

Desti menyebutkan pemkab menargetkan pemasukan Rp2 miliar per tahun dari restribusi ombak.

Namun, pada awal pemberlakuan ini diperkirakan, baru akan terealisasi Rp1,5 miliar.

Per agustus Dinas Pariwisata Pemkab Mentawai sudah berhasil menarik retribusi dari 640 orang yang berarti pemasukan Rp640 juta.

Hingga saat ini pemasukan dari retribusi selancar mencapai Rp1,6 miliar.


Belum matang

Bukan saja dirasakan berat oleh sebagian turis, aturan retribusi itu juga diragukan keberhasilannya.

Di situs internasional, para peselancar mengkhawatirkan soal mudahnya gelang karet untuk dipalsukan.

Sesungguhnya, gelang asli yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Mentawai juga banyak kelemahan.

Salah satunya, gelang tersebut tidak memiliki penanda masa berlaku.

Kelemahan itu pula yang dikeluhkan Ketua Asosiasi Kapal Wisata Selancar Sumatra Barat (AKWSSB) Aim Zein.

Ditambah lagi, menurutnya, pengawasan di lapangan masih lemah sehingga peselancar yang tidak memiliki gelang pun dapat tetap berselancar.

Padahal, Desti mengatakan pihaknya menempatkan dua petugas di lokasi selancar untuk pengawasan dan mengatur giliran berselancar agar tidak terjadi perebutan ombak di antara peselancar.

"Gelang yang sekarang rentan bisa dipakai terus. Harusnya dibedakan, misalnya Agustus berwarna kuning, September biru .... Sistem itu harus diperbaiki," ujar Aim.

Pemkab Mentawai juga seharusnya memiliki program yang membuat retribusi itu juga berdampak bagi warga lokal sekitar lokasi selancar.

Warga sekitar menjadi kelompok paling terdampak akibat para wisatawan yang enggan membayar beralih ke lokasi lain.

Tanpa perbaikan-perbaikan itu, aturan retribusi bukannya menguntungkan melainkan malah bisa menjadi bumerang dan membuat pemkab hanya sebagai pihak yang ingin mengeruk keuntungan tanpa upaya memoles sumber daya alam.

Mentawai juga bukannya menjadi tempat wisata yang eksklusif, melainkan malah bisa ditinggalkan.

Aim mengatakan seiring dengan perekonomian dunia yang lesu, turis peselancar ke Mentawai turun dari sekitar 6.000-7.000 orang menjadi hanya 5.000 orang beberapa tahun belakangan ini. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya