Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
PENAHANAN terhadap 177 calon jemaah asal Indonesia oleh Imigrasi Filipina cukup mengejutkan. Namun, daftar tunggu haji resmi dari Pemerintah Indonesia yang bisa mencapai 20 tahun membuat orang mencari jalur alternatif untuk melaksanakan rukun Islam ke-5 ini.
Bahkan, tidak jarang sebagian menempuh cara ilegal, seperti yang terjadi dengan melaksanakan ibadah haji melalui kuota yang didapat negara tetangga.
Supandiono, yang tinggal di Kelurahan Juata Korpri, Kecamatan Tarakan Utara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pernah menjadi Kepala Sekolah SMK Negeri 2 dan Kepala Dinas Pendidikan Tarakan ini, sekarang menjadi pengawas tersebut tanpa ragu menceritakan kisahnya.
Kenekatan dirinya berhaji melalui negara tetangga berawal dari kunjungan kerja ke Filipina beberapa tahun lalu bersama pejabat Pemerintah Kota Tarakan untuk melihat cara pengelolaan sampah di Kota Martina.
"Di sana juga ada masjid meskipun umat Islamnya minoritas, hanya 5% dari jumlah populasi yang ada. Saat melakukan salat, saya mendengar cerita mengenai kuota haji yang tidak terpakai sehingga banyak dimanfaatkan oleh warga negara Malaysia dan Indonesia, yang paling banyak dari Sulawesi," ungkapnya.
Awal 2015, Supandiono pun mendaftar dan pada tahun itu juga dirinya sudah bisa melakukan ibadah haji ke Tanah Suci.
Supandiono tidak sendiri, ada beberapa warga yang berdomisili di Kalimantan Utara yang ikut melakukan kegiatan tersebut. Namun, dia lupa berapa persis jemaah haji seperti dirinya yang berasal dari Kaltara. Ia memperkirakan jumlahnya jika digabung dari Kaltim maupun Sulawesi bisa sampai 200-an orang.
Setelah mendaftar ke seorang agen asal Berau, Kaltim, Supandiono pun langsung diminta untuk berangkat ke Manila guna mengurus identitas dan paspor haji. Karena menggunakan kuota umat Islam Filipina, nama paspor pun harus dibuat tidak sama dengan nama Indonesia. Supadiono pun berganti nama menjadi Muhammad Riu Habil Abu.
"Hanya menunggu beberapa bulan setelah daftar kita bisa langsung berangkat, tetapi kalau daftar di Indonesia bisa bertahun-tahun baru bisa berangkat. Makanya saya langsung ambil tabungan saya begitu mendengar ada orang Berau yang bisa memfasilitasi, tetapi saya lupa orangnya karena komunikasi yang kita lakukan menggunakan handphone," bebernya.
Setelah pembuatan identitas selesai, Supandiono melanjutkan dengan kegiatan manasik haji yang dilakukan oleh Pemerintah Filipina. Setelah itu, ia pun langsung diberangkatkan ke Mekah dan Madinah guna menjalankan rukun haji.
"Kita daftarnya sama orang Berau itu, bayar Rp35 juta khusus untuk Ongkos Naik Haji (ONH). Setelah itu, ada panggilan untuk membuat paspor sehingga kita berangkat ke Filipina selama sekitar 2 pekan. Setelah paspor haji selesai dibuat, kita kembali ke Tarakan, setelah itu pada saat bimbingan atau manasik haji kita kembali ke Manila lagi sekitar 2 pekan lamanya. Bolak-balik Filipina Indonesia tidak membuat capek karena kita juga sambil jalan-jalan," ucap Supandiono diiringi dengan tawa renyahnya.
Jika dirincikan, kata dia, biaya perjalanan haji dengan menggunakan kuota Filipina sekitar Rp100 juta, termasuk untuk biaya hidup selama di Tanah Suci. Adapun untuk mendaftar hanya dibutuhkan biaya sebesar Rp35 juta. Sedangkan biaya pulang pergi ke Manila beserta ongkos membuat identitas diri serta makan dan penginapan sekitar Rp15 juta. Begitu juga tiket pulang pergi ke Manila untuk melakukan manasik haji, makan, serta penginapan sekitar Rp10 juta.
"Termasuk sangu selama berada di Arab Saudi sehingga kalau dihitung total mencapai Rp100 juta," akunya.
Supandiono bukan satu-satunya warga Indonesia yang ikut melaksanakan ibadah haji via Filipina. Karena selama mengurus dokumentasi dan lainnya terkait dengan perjalanan ibadah hajinya, dia bertemu dengan orang Indonesia dari beberapa daerah, tetapi kebanyakan dari Sulawesi.
"Soal bahasa kadang menjadi kendala, makanya ada penerjemahnya. Bahkan atribut yang kita gunakan dari Filipina. Tetapi saat bertemu dengan jemaah haji asal Indonesia selama berada di Tanah Suci justru pada bingung, orang Filipina kok lancar Bahasa Indonesia, tahu Kota Jogja, dan sebagainya. Tetapi saya katakan kepada mereka apa yang sebenarnya," ungkapnya.
Tidak jarang Supandiono lupa akan nama barunya yang menggunakan nama yang tertera di paspor Filipina-nya, sehingga saat disebut namanya ia kerap kali tidak merespons.
Menurut dia, ada dua jalur alternatif yang bisa digunakan untuk pergi ke Manila, yaitu melalui Tarakan-Balikpapan-Jakarta-Manila, serta jalur kedua melalui Tarakan-Balikpapan-Kinabalu Sabah Malaysia-Manila.
Selain lebih cepat, lanjut Supandiono, melakukan perjalanan haji via Filipina cukup menyenanggkan karena bisa jalan-jalan ke negara tetangga.
Sementara itu, Syamsul Alam, warga Sei Pancang, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, mengaku telah menggunakan jalur Filipina untuk ikut naik haji pada 2015 lalu. Ia pun mengaku menjadi salah satu penghubung bagi jasa travel Filipina untuk para calhaj asal Sebatik dan beberapa wilayah lainnya di perbatasan Kaltara.
Ia mengatakan, kepengurusan jemaah haji memang di Filipina diurus oleh pemilik bisnis travel.
"Saya sudah sudah dua kali menjadi penghubung di salah satu agensi travel di Manila. Saya kaget karena baru kali ini Filipina menahan jemaah haji Indonesia, padahal jemaah haji Indonesia yang memanfaatkan kuota keberangkatan haji Filipina sudah sejak lama. Banyak calhaj lewat Filipina. Tahun lalu saya, saudara, dan keluarga juga lewat sana," ungkapnya.
Dijelaskannya, untuk berangkat haji lewat Filipina, jemaah haji akan diberangkatkan melalui Nunukan menggunakan paspor turis ke Filipina, bukan visa haji. Biaya untuk berhaji ke Filipina juga dikatakan tidak terlalu mahal, berbeda berangkat dari Makassar ke Filipina yang bisa menghabiskan dana mencapai Rp131 juta. Sedangkan berangkat lewat Nunukan jauh lebih murah, hanya Rp60 juta.
Syamsul pun mengakui kepengurusan haji di Indonesia terlalu lama membuat Calhaj mencoba alternatif lain. Di Nunukan saja, kata dia, antre untuk berangkat haji lewat Pemerintah Indonesia bisa sampai 24 tahun. (OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved