KERINGAT mengucur deras saat satu rombongan tiba di lokasi Pantai Gatra, Dusun Sendangbiru, Desa Sitiharjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Derasnya peluh karena mereka harus berjalan kaki sejauh hampir 1,5 kilometer, melewati jalan setapak permanen dengan rute menanjak dan menurun.
Di sisi kiri-kanan jalan nampak terhampar lebatnya hutan mangrove, pepohonan tegak hijau serta deretan tanaman pisang dan kopi.
Sesekali pengunjung akan bertemu dengan warga setempat yang tengah merawat kebun atau mencari dedaunan untuk pakan ternak meraka.
Mendekati lokasi, semilir angin, suara deburan ombak dan ribuan kepiting kecil yang tengah membuat rumah dalam lobang pasir seolah menyambut kedatangan pengunjung. Seketika lelah dan penat pun sirna.
Sebenarnya untuk mencapai Pantai Gatra ini selain berjalan kaki, pengunjung dapat menggunakan sepeda motor beroda tiga yang bisa mengangkut 10 penumpang yang disediakan oleh pengelola secara gratis.
Naik sepeda motor roda tiga ini juga menjadi pengalaman tersendiri. Pengunjung duduk di bak belakang yang terbuat dari kayu memanjang. Mereka akan merasakan sensasinya berkendara meliuk-liuk, menanjak dan turunan di sepanjang jalan
Checklist sampah
Setelah melewati pos penjagaan pertama dengan membayar Rp10 ribu per orang, pengunjung akan kembali berjalan kaki menuju pos dua sejauh 1,5 kilometer.
Disini petugas akan melakukan pengecekan barang bawaan milik pengunjung yang berpotensi meninggalkan sampah.
Saat itu rombongan tercatat membawa 10 kotak nasi bungkus, 8 botol air mineral, 10 masker, 5 bungkus rokok serta 2 kantongan plastik. Semuanya dicatat dengan rapi oleh petugas dalam sebuah nota yang kemudian ditandatangani pengunjung.
“Pada saat masuk akan kami hitung berapa barang yang dibawa masuk dan berpotensi menjadi sampah dan setelah pulang akan kami hitung kembali,” jelas Ari Anggara, pemandu rombongan.
Sebagai wujud tanggung jawab, ketika wisatawan membawa 10 botol, jika keluar hilang satu maka akan disuruh kembali untuk mencari barang yang hilang. Bisa juga diganti dengan sampah lain yang banyak dari laut. Jika tidak ada sampah pengganti, maka pengunjung didenda Rp100 ribu per 1 item.
"Selama ini kami tak pernah berlakukan aturan denda Itu. Kita lebih memilih mereka kembali ke pantai dan mengambil sampah yang ada di sana sebagai pengganti sampah mereka yang hilang," terang Ari.
Biasanya sampah yang masih ada di pantai itu dihasilkan karena dari laut yang terdampar ke daratan. "Bukan sampah yang dihasilkan oleh pengunjung," tambah mahasiwa tingkat akhir di Universitas Malang itu.
Randi Irawan, 23, sudah dua kali mengunjungi Pantai Gatra. Dia mengaku senang dengan aturan ketat soal larangan membuang sampah sembarangan di Pantai Gatra.
"Memang mengajarkan kedisplinan itu sulit tapi bila itu dilakukan secara terus menerus menurut saya tentu akan ada perubahan, " ujar pemuda asal Kediri itu.
Perambahan hutan.
Saptoyo pendiri Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru yang mengelola Kawasan ekowisata Clungup Mangrove Conservation atau dikenal dengan nama CMC Tiga Warna menjelaskan, Kawasan CMC Tiga Warna dibagi dua, yakni area konservasi Mangrove meliputi Pantai Clungup dan Pantai Gatra.
Kemudian area konservasi terumbu karang di Pantai Sapana, Pantai Mini, Pantai Batu Pecah serta Pantai Tiga Warna.
Total luas area mencapai 117 hektare teriri 71 hektare mangrove, 10 hektare terumbu karang dan 36 hektare hutan lindung.
“Ekowisata ini dikelola sepenuhnya oleh warga di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang yang jumlahnya mencapai 109 orang dan semuanya masyarakat lokal,” kata penerima Anugerah Kalpataru dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu.
Saptoyo menceritakan, sesungguhnya ekowisata CMC Tiga Warna ini terbentuk akibat kerusakan pantai karena pengambilan kayu yang berlebihan sebagai bahan baku pembakar gamping, bahan baku semen.
Melihat kondisi ini, dia dan sejumlah keluarga kemudian berinisitif secara diam-diam melakukan penanaman mangrove di tempat yang rusak itu selama 10 tahun lebih. Mereka dibantu sejumlah mahasiswa teman Lia Putrinda, anak Saptoyo, yang kuliah di Malang.
Dia mengaku saat memulai banyak kendala yang terjadi di lapangan. Bahkan sekitar 2015 terjadi kesalahpahaman dengan warga setempat. Masalahnya, karena semakin ramai yang membantu dikira warga di situ banyak uangnya.
“Kondisi ini membuat saya ditahan di polres selama 2 hari 3 malam,” ujarnya terkekeh.
Di luar kawasan pantai
Untuk menjaga agar pengunjung tidak membludag, Pantai Tiga Warna, Pantai Gatra dan Pantai Clungup tidak akan dibuka untuk umum setiap Kamis dan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.
“Kami tidak mengambil keuntungan saat libur Nataru dan Lebaran karena kami mengutamakan nilai ekologis dan toleransi. Pada 2021 lalu jumlah pengunjungnya mencapai 4 ribu orang,” tambah Lia Putrinda, salah satu pendiri yayasan yang juga anak Saptoyo .
Sampai saat ini, kata perempuan yang pernah diganjar sejumlah penghargaan itu, pihaknya juga bekerja sama dengan wisatawan yang sangat baik mau berbagi rezeki dengan Yayasan Mangrove tersebut.
”Karena uang yang dibayarkan ke kami itu untuk konservasi dan program Yayasan. Dengan menajemen sampah menjadikan masyarakat Dusun Sendangbiru, Desa Tambak Rejo jadi pusat perhatian baik nasional dan global,” ujarnya.
Dampaknya saat ini masyarakat dusun juga mempunyai kelompok home stay dengan 14 rumah, kelompok kuliner, kelompok oleh-oleh yang mendukung fasilitas untuk wisatawan. Mereka berada di luar pantai.
“Kami menghindari adanya bangunan permanen di dalam pantai,” terang Lia. (N-2)