Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Jangan sekadar Seremoni

Akhmad Safuan
22/4/2016 02:15
Jangan sekadar Seremoni
(MI/AHMAD SAFUAN)

HARI Kartini yang merupakan hari kelahiran pahlawan nasional Raden Ajeng (RA) Kartini diharapkan tidak sekadar menjadi acara seremonial.

Wakil Bupati Rembang Bayu Andriyanto mengatakan itu saat resepsi puncak Gema Kartini 2016 di Rembang, Jawa Tengah, kemarin.
Menurut dia, peringatan Hari Kartini jangan hanya untuk menggelar kegiatan seni budaya, tapi lebih pada peningkatan peran perempuan di berbagai bidang. “Seperti amanat dan cita-cita Kartini yang terus memperjuangkan emansipasi,” kata dia saat memberi sambutan yang disampaikan dengan bahasa Jawa.

Dia juga mengapresiasi re-sepsi Gema Kartini yang meng­agungkan kearifan budaya lokal sebagai upaya menjaga kelestarian budaya di tengah gempuran modernisasi.

“Saya di sini juga kembali berbahasa Jawa yang lebih baik lagi, karena kitalah yang harus menjaga bahasa daerah, selain tentunya bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi dan pemersatu bangsa,” kata Bayu.

Dalam resepsi puncak Gema Kartini 2016, Pataka yang berisi foto dan kata-kata mutiara Kartini kembali dikirab dari makam menuju Museum Kartini yang dulunya merupakan rumah sekaligus kantor Bupati Rembang.

Mayoritas tamu undangan perempuan hadir mengenakan busana Jawa. Selain itu, dalam bertutur, sesama tamu menggunakan bahasa Jawa.
RA Kartini, kelahiran Jepara Jateng 21 April 1879, meninggal dunia di Rembang pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun, empat hari setelah ia melahirkan putranya. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Pada 12 November 1903, Kartini menuruti keinginan ayahnya untuk menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah memiliki tiga istri.

Pada 21 April 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia sekaligus menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini.

Setelah Kartini meninggal, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada saat itu, JH Abendanon, membukukan korespondensi Kartini dengan kawan-kawannya yang merupakan keturunan Belanda, termasuk JH Abendanon serta istrinya, Rose Abendanon. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht (Dari Ke­gelapan Menuju Cahaya). Buku itu kemudian diterbitkan Balai Pustaka pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.

Buku itu antara lain menggambarkan mengenai pemikiran Kartini mengenai emansipasi dan kebebasan, penolakannya terhadap poligami, dan pandangannya mengenai praktik beragama.


Datangi makam

Ribuan warga, sejak Kamis (21/4) dini hari, mendatangi makam RA Kartini untuk memperingati kelahiran pahlawan emansipasi perempuan itu.

“Saya sengaja datang dari Sarang, Rembang, sekitar 40 km dari makam karena ingin berziarah ke makam RA Kartini. Selama ini belum pernah,” kata Ambarwatie, 33, seorang guru sekolah dasar di Rembang.

Salah seorang kerabat RA Kartini di Rembang, Tony, mengaku sangat senang melihat animo warga untuk berziarah. (N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya