Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
MARAKNYA aksi intoleransi menyulut keberangan sejumlah seniman di Yogyakarta. Hanya, mereka tidak melawan dengan kekerasan.
Djuwadi, seniman mural, bersama para seniman lain yang tergabung dalam Solidaritas Jogya Damai (SJD), mengamuk dengan kuas dan cat. Sasaran mereka tembok dan jembatan di sejumlah sudut kota.
Ada banyak mural yang mengkritik soal intoleransi. Di Jembatan Kewek, ada empat mural yang dibuat SJD di setiap sisinya. Di sebelah barat, ada mural dengan tulisan ‘Penyeragaman Membunuh Keberagaman’. Tepat di tembok sebelahnya ada tulisan ‘City of Tolerance’ dengan tanda tanya (?) besar di atasnya.
Sementara itu, di jembatan sebelah timur, terdapat tulisan yang sama, ‘City of Tolerance’ dengan tanda tanya besar di tembok kanan dan kiri. Semua mural yang ada di tembok latar belakangnya berwarna hitam, atau akrab disebut mural ireng atau mural hitam.
“Kami mempertanyakan di mana negara? Dalam hal ini otoritas Yogyakarta yang mengklaim dirinya sebagai City of Tolerance,” kata Djuwadi, pekan lalu.
Ia mengungkapkan SJD sangat prihatin terhadap semakin maraknya aksi intoleransi yang dilakukan ormas yang mengatasnamakan keagamaan. SJD juga prihatin terhadap diamnya negara dalam menyikapi penyerangan demi penyerangan terhadap kelompok minoritas.
Yogyakarta sebagi kota budaya dan pendidikan seharusnya tidak membiarkan aksi-aksi intoleran yang terjadi. Menurut Djuwadi, jika aksi-aksi intoleran terus dibiarkan, itu akan semakin merusak dan mengancam nilai-nilai keberagaman yang sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat.
“Kalau dibiarkan, mereka bisa mengancam nilai-nilai keberagaman,” tandasnya.
SJD tidak sendiri. Seniman Antitank juga membuat poster berwarna blok hitam bertuliskan ‘Jogja City of Tolerance’ berwarna putih. Namun, di depan kata ‘toleransi’ terdapat kata in sehingga tulisan poster itu bertuliskan ‘Jogja City of Intolerance’.
Andrew Lumban Gaol, seniman Antitank yang membuat poster itu, mengaku karyanya merupakan kritik terhadap maraknya aksi intoleransi di Yogyakarta. Dia ingin mengajak masyarakat untuk ikut melihat, mengoreksi, dan mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam menangani kasus-kasus intoleransi. “Itu hanya stimulasi untuk memancing reaksi dari masyarakat.”
Menurut Andrew, dengan adanya poster itu, ia ingin masyarakat menyadari betul bahwa aksi intoleransi yang dilakukan kelompok ormas dapat mengganggu kestabilan ekonomi. “Karena salah satu pendapatan daerah ini berasal dari sektor pariwisata.
Masyarakatlah yang akan menerima kerugiannya.”
Kekerasan tidak berujung dan hanya menimbulkan kekerasan lainnya. “Lewat poster, saya berharap masyarakat menolak adanya kekerasan dan menumbuhkembangkan perdamaian,” tegas Andrew.
Herry Zudianto sepakat. Mantan Wali Kota Yogyakarta yang juga mengukuhkan Jogja City of Tolerance menyatakan sudah saatnya pemerintah membuka ruang dialog untuk meneguhkan kembali toleransi di Yogyakarta. “Pemerintah harus menjadi penengah dan tidak boleh membiarkan aksi-aksi intoleransi di Yogyakarta,” tandasnya. (Furqon Ulya Himawan/N-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved