Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Menjual Isu Agama dan Komunisme

20/4/2016 03:30
Menjual Isu Agama dan Komunisme
(MI/FURQON ULYA HIMAWAN)

KETIKA beraksi, kelompok intoleran selalu menggunakan isu agama dan komunisme. Pada pembubaran acara Lady Fast 2016 di Studio Survive Garage, misalnya mereka menilai acara itu sebagai ajang maksiat dan mabuk-mabukan.

Sambil bertakbir, anggota ormas mengancam agar acara tidak dilanjutkan. “Padahal, Lady Fast adalah ajang tukar pengalaman kreativitas seni dan belajar bareng,” kata Agnes Dwi Rusjiyati, Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) DI Yogyakarta, Selasa pekan lalu.

Agnes mengaku telah mengamati beberapa isu yang selalu dibawa kelompok-kelompok intoleran di Yogyakarta. Dia membaginya menjadi lima isu, yakni soal agama, aliran sesat, kristenisasi, komunis, dan isu gender atau LGBT. “Isunya ya itu-itu saja,” tambahnya.

Agnes mencontohkan, dalam penolakan film Senyap yang terjadi di Yogyakarta, kelompok intoleran memakai isu komunisme. Pada kasus pembubaran diskusi aliran agama, mereka mengangkatnya sebagai aliran sesat.

Isu yang mereka usung membuat aparat penegak hukum gamang. “Apalagi kalau isu komunis yang memang sudah didoktrinkan di kalangan polisi dan militer bahwa komunisme itu berbahaya.”

Peneliti gerakan Islam di Indonesia, Profesor Noorhaidi Hasan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, melihat secara teoretis salah satu penyebab munculnya gerakan ormas intoleran tidak terlepas dari pengaruh dinamika politik, baik lokal maupun nasional. Di Yogyakarta, dimensi politik yang tak bisa dilepaskan ialah persoalan paugeran atau tata cara pengisian jabatan penerus takhta keraton, dan keistimewaan Yogyakarta.

“Dengan memakai baju agama, aksi-aksi intoleransi yang dilakukan ormas terlihat sakral. Pun perselisihan lahan parkir akan lebih sakral jika dibalut dengan isu agama,” lanjut Noorhaidi.

Ia menilai agama hanya alat justifikasi. Padahal, politik-ekonomi berada di balik aksi itu. “Dengan diberi simbol agama, maka yang politik-ekonomi menjadi sangat sakral,” katanya.


Memalukan Yogyakarta

Ormas FUI atau FJI yang sering menggunakan agama untuk melakukan aksi intoleran di Yogyakarta dinilai Noorhaidi, membuat malu agama karena agama Islam ialah agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan menghargai perbedaan.

“Mereka tidak mewakili Islam. Islam menghargai teologi masing-masing,” tegasnya.

Menurut Noorhaidi, aparat penegak hukum kadang gamang dalam menindak pelaku intoleransi yang mengatasnamakan agama. Polisi takut jika dianggap mencederai simbol-simbol agama.

“Mereka bukan mewakili mayoritas orang Islam. Mereka hanya minoritas. Polisi kadang salah kalkulasi,” terang Noorhaidi.

Aksi intoleransi kalau dibiarkan hanya akan mencoreng Yogyakarta sebagai city of tolerance. Karena itu, harus ada ketegasan dari pemangku kebijakan untuk menindak tegas semua pelaku tindak kekerasan.

Laporan Wahid Institut menempatkan Yogyakarta di peringkat kedua sebagai provinsi dengan jumlah tingkat intoleransi ter­tinggi di Indonesia.

Tidak salah jika mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, meminta aparat keamanan menindak tegas anggotanya maupun ormas yang suka melakukan tindakan anarkistis dan intoleran. “Aparat harus bertindak cepat dan jangan ragu-ragu.”

Pria yang kerap disapa Buya Syafii ini meminta pemerintah dan aparat penegak hukum, khususnya polisi, tidak tinggal diam terhadap ormas yang sering bertindak anarkistis dan intoleran.
Tindakan mereka hanya akan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Hal senada juga disampaikan Alissa Qotrunnada Munawaroh Rahman atau Alissa Wahid. Putri presiden keempat RI itu menyoroti sikap polisi yang hanya memiliki perspektif menghindari konflik tanpa menjamin hak konstitusional warga negara. “Polisi seharusnya melindungi warga negara dan menjamin kenyamanan dalam berkumpul, berserikat, dan berdiskusi. Kelompok intoleran yang membuat ancaman harus ditindak.”

Noorhaidi sepakat, “Kalau pemerintah dan penegak hukum konsisten menjalankan keberagaman, kelompok intoleran tidak akan berani beraksi kembali. Itu semua tergantung pemangku kebijakan.” (Furqon Ulya Himawan/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya