Headline
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
FENOMENA alam gerhana tidak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Pasalnya, ada sekitar 21 prasasti dan naskah kuno ditetapkan oleh raja berkaitan dengan kebijakan kerajaan.
Pakar Arkeologi di Kota Malang, Jawa Timur, Suwardono mengatakan, masyarakat Jawa kuno menggunakan patokan hitungan bulan, bukan matahari. Oleh karenanya, kebijakan kerajaan yang dituangkan dalam prasasti ditetapkan kendati memasuki gerhana bulan.
Kehidupan sosial dan politik kerajaan saat itu, lanjutnya, tidak terpengaruh fenomena alam yang sedang berlangsung. Buktinya, Prasasti Turyan di Desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, tetap disahkan oleh Raja Mpu Sindok.
Prasasti Turyan yang juga dikenal sebagai Prasasti Watu Godek tersebut disahkan pada 24 Juli 929 tepat saat gerhana bulan. Prasasti itu berkaitan dengan pembuatan bendungan di daerah Turen. Mpu Sindok berkepentingan mengeluarkan prasasti menandai berdirinya bendungan lantaran daerah setempat sebagai pusat pertanian yang melimpah. Saat mengesahkan Prasasti Turyan dilakukan upacara dan doa-doa sekitar 15 menit saat gerhana.
"Upacara tidak terganggu dengan gerhana bulan, sebab masyarakat Jawa Kuno berpatokan pada perhitungan astronomi menggunakan bulan, bukannya matahari. Bila prasasti yang akan disahkan raja itu perhitungan hari pasarannya sudah tepat, walaupun gerhana bulan sekalipun tetap disahkan," tegasnya di Malang, Senin (7/3).
Demikian juga dengan pengesahan Prasasti Mulamalurung pada 1177 Saka atau 1254 Masehi. Prasasti yang dikeluarkan Raja Singosari Wisnuwardana tersebut juga tepat saat gerhana bulan.
Prasasti Sucen berangka tahun 765 Saka atau 843 Masehi di sekitar Kedu, Jawa Tengah, terkait penetapan daerah sima juga tepat saat gerhana bulan. Naskah kuno Negarakertagama selesai ditulis Mpu Prapanca juga tepat saat gerhana bulan.
"Ada sekitar 21 prasasti dan naskah kuno disahkan saat gerhana bulan. Bagi orang Jawa Kuno itu tidak masalah. Yang penting, pengesahannya sesuai perhitungan hari baik," ujarnya.
Ia menjelaskan, Prasasti Blitar, Jawa Timur, juga tidak banyak orang yang mengetahuinya ketika disahkan raja saat gerhana bulan.
Sementara itu, Dosen Jurusan Sejarah IKIP Budi Utomo, Kota Malang, Jatim, Yahmin mengatakan fenomena alam gerhana matahari sekarang dimaknai sebagai wisata. Hal itu terjadi lantaran mitologi zaman dulu mulai luntur seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun demikian, lanjut Yahmin, ada kearifan lokal yang bisa terus dikembangkan kendati bernuansa simbolik dan mitos. Kearifan lokal tersebut ialah usai gerhana matahari, masyarakat zaman dulu memaknai dengan memukul kentongan atau menciptakan suara. Hal itu dimaknai simbolik terbebas dari kegelapan atau isyarat membatalkan kegelapan, untuk selanjutnya dibangunkan.
Bagi orang yang hamil biasanya membuat selamatan 'sego rogoh', nasi beserta lauk-pauk dimasukkan kuali atau wadah terbuat dari tanah liat untuk selanjutnya dikeluarkan dari wadahnya. Maksud dari ritual itu agar orang hamil tidak terpengaruh gerhana atau yang dianggap sebagai simbol kegelapan tersebut.
Setelah gerhana matahari, katanya, orang zaman dulu juga membangunkan hewan peliharaan dan tanaman yang memiliki manfaat besar. Caranya memukul hewan ternak atau tanaman. Maksudnya agar kembali hidup setelah terpapar kegelapan saat gerhana matahari.
Demikian juga dengan manusia, saat gerhana diminta tetap terjaga sebagai bentuk tetap sadar. Itu sebabnya ada ungkapan orang Jawa yakni 'sopo sing leno bakale keno' (siapa yang terlena akan terkena) dampak gerhana matahari. Oleh karena itu, kearifan lokal yang menyertai fenomena alam gerhana matahari kendati menyangkut mistis dan mitos tersebut memberikan makna simbolik kepada manusia agar tetap sadar dan hidup sesuai aturan dan norma.
"Masyarakat sekarang memaknai gerhana matahari sebagai proses alamiah. Fenomena alam yang dulunya dimaknai mistis dengan cerita mitologinya, sekarang sudah luntur dan dimaknai rekreasi," tegas Yahmin. (BN/OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved