Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Hilangnya Bukit Batu di Petung Wulung

Bagus Suryo
26/9/2019 12:00
Hilangnya Bukit Batu di Petung Wulung
Para pekerja membuat cobek batu di Desa Petung Wulung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.(MI/Bagus Suryo)

DULU, dusun itu hijau. Dihiasi bukit batu di sana-sini, keindahan Dusun Petung Wulung, di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini, semakin lengkap.

Namun, digerogoti keganasan tangan manusia, sejak era penjajahan Belanda, yang tersisa di Petung Wulung, kini, hanya lobang-lobang besar menganga. Bukan pemodal yang datang dari luar. Tidak ada alat berat yang menghunjam ke bumi. Hanya tangan-tangan kecil warga Petung Wulung sendiri yang mengeksploitasinya.

"Kami tidak pernah menjual batu. Sejak kakek saya, Mbah Pahing, warga di desa ini mengambil batu untuk membuat alat-alat dapur, seperti cobek, ulekan, dan lumpang," papar Darsono, perajin cobek batu.

Sebagian besar warga Petung Wulung, sudah sejak lama membuat peralatan dapur berbahan batu. Turun temurun sejak 1920-an, atau sudah tiga turunan. Di Jawa Timur, cobek Petung Wulung sudah sangat dikenal.

Saban hari, aktivitas ekonomi Petung Wulung terus berdenyut. Tumpukan batu pun menggunung di pinggir jalan.

Di sepanjang jalan dusun yang sibuk itu terdengar suara khas orang menatah berpadu dengan mesin penghalus batu. Cobek-cobek siap jual pun ditata rapi di depan rumah-rumah warga. Jutaan cobek di berbagai daerah dibuat dari kawasan ini. 

Kebutuhan terhadap batu melonjak, bukit-bukit dikepras habis. Secara kultural setia di jalur cobek menjadi kebanggan, tapi di sisi lain juga menimbulkan kerusakan lingkungan cukup serius.

Dalam sehari, setiap perajin rata-rata mampu membuat 10-20 pasang cobek dan ulek. Mereka juga membuat lumpang dan alu, yang dijual Rp50 ribu-Rp200 ribu per buah. Sesekali pesanan aksesori penghias taman juga datang.

"Cobek dijual ke Surabaya seharga Rp10 ribu sampai Rp20 ribu. Ulek dijual Rp7.500 sampai Rp15 ribu. Saya bisa membuat 30 ulek dan 10 cobek per hari," lanjut Darsono.

Eksploitasi batu meninggalkan lubang cukup lebar menyerupai danau. Tampak jelas terjadi kerusakan lingkungan di kawasan itu. Lubang-lubang galian menganga tak jauh dari rumah warga. Bahkan di sepanjang jalan desa yang menghubungkan dengan objek wisata Kebun Teh milik PTPN XII itu ada banyak bekas tambang, lobang yang cukup luas. Beruntung, setelah dibiarkan beberapa lama, lobang-lobang itu bisa ditanami jagung atau pohon kayu sengon.

Batu habis, tapi cobek terus berjalan. Para pemasok batu pun bergerilya ke dusun lain. "Harga batu melonjak dari hanya Rp30 ribu per pikup, sekarang jadi Rp400 ribu," keluh Ahmad Tari, 60, perajin lain.

Kalau batu benar-benar sulit didapat, Ahmad sudah siap alih pekerjaan. Ia sudah memiliki kebun jagung dan dua sapi. (Bagus Suryo/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik