Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Saide, sang Legenda Rokok yang sudah Pikun

MI
15/4/2015 00:00
Saide, sang Legenda Rokok yang sudah Pikun
Haji Saide/Pengusaha Rokok Bugis()
DI masa kejayaan tembakau, nama Haji Saide cukup populer. Pria kelahiran Cabbenge (orang Bugis sering menyebutnya Cabbeng), Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, atau 250 km dari Kota Makassar, itu telah merintis usaha pengasapan tembakau sejak 1962.

Saide bisa disebut sang legenda. Ia mendirikan perusahaan rokok Adidie 1962 di Makassar. Di usianya yang tidak muda lagi bahkan sudah pikun, perusahaan pengasapan tembakaunya terus berproduksi. Untuk mendapatkan produk tembakau yang baik, Saide cukup mengambil dari desa kelahirannya. Masa jaya usahanya pada 1970 sampai awal 1990. Saide pun menjadi salah satu orang terkaya di Sulawesi Selatan. Rokok buatannya digemari para penikmat rokok di Sulawesi sampai Papua hingga tiga dekade.

Saide muda memilih meninggalkan Cabbenge, ketika tanah kelahirannya diduduki laskar DI/TII. Sebagian besar penduduk mengungsi ke kota yang berada di bawah kendali militer Siliwangi. Saide memilih mengungsi ke Makassar pada 1955 dan beberapa tahun kemudian mengembangkan usaha ico-nya dengan pasokan tembakau dari desa-desa di Soppeng, khususnya Cabbenge.

Saide ialah putra ketiga dari pasangan H Bocing dengan I Cue'. Saudaranya berjumlah enam orang, tapi hanya dia yang menggeluti tembakau. Ia menikah dengan Hj Sitti dan dikaruniai sembilan putra dan seorang putri. Setelah perjuangan DI/TII mengendur pada 1965, kondisi keamanan semakin kondusif di desa. Usaha H Saide pun mulai tumbuh dan semakin stabil hingga 1980-an.

Pada awalnya, Saide punya 40 karyawan yang menghasilkan 500 timpo tembakau per hari. Ia menjadi pengusaha rokok terbesar di Sulawesi Selatan. Namun, saat ini, karyawannya tersisa empat orang saja.

Burhanuddin, 60, salah satu karyawannya yang bekerja sejak 1969, menggambarkan perusahaan milik Saide itu mampu menggaji karyawannya cukup besar.

"Dulu kita lebih memilih kerja di sini ketimbang sekolah atau bekerja sebagai pegawai negeri. Gajinya menjanjikan, kerja tiada henti. Tapi sekarang ini kondisinya begini. Bahan baku kurang, jam kerja berkurang. Kadang ada yang pesan tidak diladeni," kata Burhanuddin dengan senyum masam.

Salah satu putra Saide, Sudirman, menuturkan masa jaya tembakau Bugis memang telah lewat. Namun, Saide tetap mampu mengolah bisnisnya. Bahkan hasil usahanya telah dijadikan modal untuk membeli tanah, sawah, dan kebun di Soppeng dan beberapa wilayah lainnya di Sulawesi Selatan.

Di Makassar, hanya tembakau Adidie dari Cabbenge yang masih bertahan. Saide dengan empat karyawannya kini hanya mampu memproduksi 250 timpo per minggu atau 1.000 timpo per bulannya.

Jika dibandingkan dengan pada masa jayanya, produksinya bisa mencapai 15 ribu timpo per bulan. Nur, penanggung jawab pengasapan tembakau, memaparkan dahulu distribusi tembakau Cabbenge meliputi wilayah Indonesia bagian timur. Namun, kini distribusi ico itu hanya area Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. "Dulu konsumennya semua kalangan, kini cukup petani dan nelayan yang masih mengisapnya. Jika dulu harga belinya menguntungkan pengusaha dan pedagang eceran, sekarang ini harganya merosot," tuturnya.

Bagi Nur, akhir usaha rokok Adidie hanya tinggal menunggu waktu. Begitu Saide tutup usia, cerita seorang legenda rokok akan tamat.

Sudirman membenarkan usia pengasapan Adidie tersebut tidak akan sampai setahun lagi lantaran pasokan tembakau yang ada hanya tersisa sedikit.

"Tidak ada lagi pengiriman tembakau dari Cabbenge. Petani tembakau sudah berkurang. Mereka memilih ekspansi ke daerah lain dan beralih dari petani tembakau jadi petani cokelat. Jadi usia pengasapan tembakau ini tidak akan cukup setahun lagi," ujarnya memprediksi. (LN/N-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya