Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
RUMAH seluas 50-an meter persegi di Desa Pleret, Kabupaten Bantul, terlihat ramai, Selasa (2/4). Rumah yang berada di gang sempit itu baru saja dikontrak Slamet Jumiarto yang dihuni istri dan dua anaknya.
Rumah itu mendadak ramai sejak 1 April 2019. Pasalnya, Slamet beserta keluarga tidak boleh tinggal di rumah itu lantaran beda agama, nonmuslim.
Ditemui di rumahnya, Slamet menceritakan kronologi kejadiannya. Ia mengaku sudah mendapatkan rumah kontrakan itu lewat perantara bernama Bowo, sebulan lalu. Slamet mengaku sebelum mencapai kesepakatan mengontrak rumah, ia telah menyatakan perihal agamanya. Si perantara mengatakan tidak ada masalah karena di dusun itu juga ada seorang warga yang berbeda agama.
Singkat cerita, kesepakatan pun terjadi. Slamet akan tinggal di rumah itu selama setahun. "Saat pindah, 30 Maret, tidak ada masalah. Saya dengan warga baik-baik saja, mereka pun sudah tahu agama saya."
Pada saat Slamet mengurus izin tinggal ke Ketua RT, persoalan timbul. Pak RT tidak memberi izin lantaran dia beragama nonmuslim. Menurut kesepakatan warga, warga nonmuslim tidak boleh tinggal di dusun tersebut.
Masalah itu kemudian dibawa ke musyawarah warga di rumah Dukuh Karet, keesokan harinya, Senin (1/4). Perangkat desa, kecamatan, dan sesepuh dusun pun bermusyawarah. "Kalau dari sesepuh dusun tidak masalah," kata dia.
Namun, ada ketua kelompok yang menyatakan tidak boleh lantaran telah ada kesepakatan warga yang tertulis di SK Nomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015 yang dikeluarkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan atau Pokgiat Dusun Karet, yang ditandatangani Kepala Dusun Karet Iswanto dan Ketua Pokgiat Ahmad Sudarmi.
Setelah berunding, Kepala Dukuh Karet kemudian memberi jalan tengah memperbolehkan tinggal selama setengah tahun. Namun, Slamet menolak dan memilih pindah kontrakan.
Pada saat bersamaan, melihat ketidakadilan itu, Slamet pun melaporkan ke Pemkab Bantul, Penasihat Gubernur DIY, hingga anggota DPR-RI. Menurut dia, aturan itu diskriminatif dan bertentangan dengan Pancasila. Seusai laporan itu, ada perubahan kebijakan dari kepala dukuh yang rencananya akan menghapus aturan tersebut. Slamet berharap, aturan diskriminatif yang mengandung SARA itu seharusnya tidak ada. Peristiwa yang dialaminya, kata dia, bisa menjadi pelajaran hingga tidak terulang peristiwa-peristiwa serupa. (AT/AU/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved