Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kearifan di Segara Anakan

Liliek Dharmawan
11/1/2016 00:00
Kearifan di Segara Anakan
(MI/Lilik Dharmawan)
SINAR matahari menyusup di antara rerimbunan pohon bakau. Warna kekuningan cahaya mentari pagi itu dipantulkan air payau di sela-sela mangrove.

Kabut tebal yang sejak dinihari menyelimuti hutan bakau di Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah, itu mulai berpendar ke atas. Menjelang siang, anak-anak kecil kampung setempat melompat dari rumah panggung. Kemudian mereka berenang ke tengah Segara Anakan, sebuah laguna yang menjadi pemisah antara Pulau Jawa dengan Pulau Nusakambangan.
Tidak lama, muncullah kawanan lumba-lumba yang mengikuti anak-anak itu. Melompat-lompat. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.

"Kedatangan lumba-lumba, sesuatu yang lumrah. Kami telah akrab karena hampir saban hari melihat mereka," tutur Slamet, 51, warga Kampung Laut.

Warga tidak tahu darimana datangnya mamalia itu. Mereka sekonyong-konyong datang, ikut melompat dan menari bersama anak-anak pantai.

"Bagi kami, orang kampung, berenang bersama dengan lumba-lumba merupakan kebahagiaan yang luar biasa," tambah Slamet.

Tentu saja, pengalaman berenang dengan lumba-lumba di Segara Anakan adalah daya tarik yang luar biasa. Namun, buru-buru Slamet menyatakan kalau pengalaman itu sudah menjadi nostalgia yang sepertinya tak mungkin kembali.

"Maaf, itu cerita masa lalu ketika hutan bakau di sini masih luas dan  sangat rimbun," kata Slamet.

Siang itu, Slamet tengah membawa rombongan wisatawan dengan perahu, dari Dermaga Sleko, Cilacap, menuju Kampung Laut di Desa Ujung Alang. Dia pun meminta rombongan tidak menuntut untuk meliha lumba-lumba lagi.

Hutan bakau

Deru mesin perahu compreng mulai terdengar. Pelan-pelan perahu bergerak melewati Segara Anakan, laguna pemisah antara Pulau Jawa dengan Pulau Nusakambangan.

Tiba-tiba saja, salah seorang penumpang meminta Slamet meminggirkan perahu ke sisi hutan mangrove. Ia melihat ada kawanan monyet ekor panjang yang tengah bergelantungan di antara pepohonan hutan mangrove. Juga terlihat burung berbulu warna warni bertengger di pohon bakau.

"Ternyata asyik juga. Seharusnya dari awal berjalan, saya sudah mengeluarkan kamera, sehingga bisa mengabadikan momen itu," kata sang penumpang.

Saat menempuh perjalanan dari Dermaga Sleko menuju Kampung Laut, sebaiknya pengunjung terus menyiapkan kamera. Di hutan mangrove itu ada  saja yang dapat diabadikan dengan kamera.

Selain monyet ekor panjang, berbagai jenis burung indah juga mencari makan di sela-sela asrinya hutan mangrove. Pun di sepanjang perjalanan sekitar 2 hingga 2,5 jam tersebut, tidak sedikit nelayan yang memancing atau menebar jala. Pemandangan yang tidak kalah indahnya.

Di alur Segara Anakan itu, masyarakat Kampung Laut juga lalu lalang membawa hasil laut atau sayuran. Jangan lupa menyapa mereka dengan lambaian tangan, pasti mereka akan membalas, lengkap dengan senyum ramah yang tersungging di bibir.

Selama perjalanan, wisatawan juga bisa melihat bangunan-bangunan penjara yang berada di Pulau Nusakambangan. Sayangnya, pengunjung tidak boleh mendekat sampai ke Nusakambangan, karena masih menjadi pulau tertutup.
Sambil mengabadikan kanan kiri laguna Segara Anakan yang didominasi asrinya hutan bakau, perjalanan kami tiba di kawasan minawisata di Desa Ujung Alang. Di tempat itu, telah dibangun trek untuk pejalan kaki yang ingin menikmati asrinya hutan mangrove.

Mereka bisa juga naik ke gardu pandang untuk melihat hijaunya mangrove dari atas. "Sudah banyak yang datang ke sini. Ada anak-anak sekolah, SMP dan SMA, SMA yang datang guna melihat berbagai macam spesies tanaman hutan mangrove," ujar Wahyono, pengelola hutan wisata mangrove di Ujung Alang ini.

Pengunjung lain, masyarakat umum, terutama anak muda. "Mereka datang berombongan. Dari Sleko ke sini bisa menyewa perahu dengan bayaran Rp300 ribu-Rp500 ribu untuk penumpang hingga 40 orang," lanjut Wahyono.

Laboratorium lingkungan

Pria itu sesungguhnya bukan sekadar pengelola hutan mangrove. Dia merupakan inisiator penyelamatan mangrove di Cilacap.

Mangrove di Desa Ujung Alang sempat mengalami kerusakan hebat, sekitar 1999, saat hutan bakau dibabat dan disulap menjadi tambak udang mulai 1997. "Hanya dua tahun tambak udang berjaya, setelah itu bangkrut dan menyisakan kerusakan mangrove. Mulai 2001, saya bersama keluarga mulai menanami mangrove, kemudian membentuk kelompok," lanjut Wahyono.

Sampai sekarang, kegiatan itu masih dilakukan kelompok, yang terus mengumpulkan spesies mangrove untuk ditanami. Sampai sekarang, mereka telah mengembangkan 28 spesies mangrove. Kini, tempat untuk mengembangkan tanaman mangrove juga telah diubah menjadi semacam laboratorium alam. Mereka yang datang tidak hanya ingin melihat keasrian mangrove, tetapi juga mengikuti wisata edukasi, khususnya bagi pelajar SMP dan SMA.

Bahkan, sejumlah warga asing juga datang. Yang terakhir, beberapa peneliti yang berasal dari Swedia dan Jerman.
Ahli Biologi Kelautan dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Romanus Edy Prabowo mengaku kerap mengantar koleganya dari luar negeri untuk melihat langsung mangrove Cilacap.

"Para peneliti dari Bremen University, misalnya, begitu kagum dengan mangrove di Cilacap. Meski sedimentasinya cukup tinggi, tetapi keanekaragamannya juga tinggi. Berbeda dengan mangrove negara lain yang keanekaragannya sedikit. Untuk wisata edukasi, bahkan sekelas internasional pun, ini sangat pantas," kata Romanus.

Goa dan Pantai

Apakah wisaya di Kampung Laut hanya mangrove semata? Tidak. Sebab, dari lokasi kawasan minawisata tersebut, pengunjung dapat berjalan kaki atau naik ojek dari Ujung Alang ke Pantai Rancababakan, Goa Masigit Sela atau Goa Maria.

Dengan mengendarai sepeda motor, tidak sampai setengah jam bisa sampai ke Pantai Rancababakan. Pantai yang sebetulnya merupakan pesisir Pulau Nusakambangan itu, merupakan pantai yang tersembunyi. Pantainya berpasir putih dan bisa untuk mandi.

Namun pengunjung harus berhati-hati karena tidak ada tim penjaga pantai. Pantai Rancababakan itu hampir mirip dengan Pantai Karang Pandan di Nusakambangan Timur atau Pantai Permisan. Hanya saja, Pantai Permisan kini sudah menjadi pantai tertutup, karena hanya dapat ditempuh dengan masuk ke Pulau Nusakambangan, yang tertutup bagi masyarakat umum.

Kehadiran goa-goa juga telah menjadikan magnet bagi para wisatawan. Goa Masigit Sela, misalnya, sangat dikenal bagi wisatawan dengan tujuan ziarah.
Di goa ini, dipenuhi stalaktit dan stalakmit yang indah. Goa lain, yakni Goa Maria juga dipilih umat Katolik sebagai tempat berziarah dan berdoa.

''Kami menyilakan para pengunjung untuk memilih sendiri destinasi wisata yang ada di sini. Semuanya menarik, tergantung minatnya saja," papar Wahyono.

Hanya saja, bagi mereka yang akan menginap, di Ujung alang belum ada homestay atau penginapan resmi. Yang ada, sejumlah warga membuka pintu rumah mereka. Hanya dengan bayaran Rp50 ribu, pengunjung bisa melepas lelah, sambil menikmati suguhan kuliner khas Kampung Laut, seperti udang dan kepiting.

"Warga juga akan menyuguhi teh dari daun Drujon atau Acanthus ilicifolius," kata Wahyono yang juga tokoh masyarakat di Ujung Alang ini.

Terancam sedimentasi

Berwisata di sekitar laguna Segara Anakan, dengan pantai dan goanya, akan lebih lengkap jika pengunjung menyempatkan diri berbincang dengan warga. Kearifan mereka menjaga goa dan mangrove bisa menjadi inspirasi.

"Menjaga alam berarti juga menjaga kesinambungan ekonomi bagi kami. Kalau mangrove rusak, tidak ada yang bisa ditawarkan bagi pengunjung. Kami juga tidak bisa membudidayakan kepiting dan udang," lanjut Wahyono.

"Kami juga menjaga goa, karena di sana juga ada sumber air bersih untuk warga," tandasnya.

Hanya saja, sesungguhnya, ada ancaman serius terhadap laguna Segara Anakan dan hutan mangrove di Cilacap.
Sedimentasi yang dibawa Sungai Citanduy dan Sungai Cimeneng terus terjadi.

Laguna itu, saat ini hanya memiliki luas 600 hektare dan hutan mangrove 6.250 hektare. Kalau tidak ada upaya serius, maka pada 15-20 tahun ke depan, Segara Anakan bisa berubah menjadi lautan lumpur dan hutan mangrove juga mati akibat perubahan lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, sedimentasi dari Sungai Citanduy dan Cimeneng yang mencapai 1 juta meter kubik per tahun.

"Kami terus berupaya menekan sedimentasi. Kami juga mengusulkan ke pemerintah pusat untuk melakukan penyodetan Citanduy, karena jika sedimentasi dibiarkan, wisata bahari yang menjadi salah andalan Cilacap menjadi musnah," keluh Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Supriyanto.

Di sisi lain pengembangan wisata Kampung Laut dengan Pulau Nusakambangan masih terganjal kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang memutuskan pulau penjara tersebut sebagai pulau tertutup.

"Padahal, sewaktu uji coba Nusakambangan dibuka sebagai objek wisata pada 1996-2006, bisa berjalan baik. Wisata jalan tanpa menganggu keamanan," tambah Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji. Karena itu, Pemkab Cilacap terus melobi Kementerian Hukum dan HAM supaya pengembangan wisata di sisi barat Nusakambangan atau sebelah Kampung Laut dapat terealisasi. Tentu saja membutuhkan persiapan yang matang, agar pulau penjara tidak terganggu keamanannya dan wisata dapat dikembangkan untuk kesejahteraan warga. (N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya