Warga Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, memanfaatkan kotoran sapi untuk menjadi Biogas(MI/ABDUS SYUKUR)
BANYAK cara untuk memikat wisatawan agar betah bertamasya ke Pasuruan. Salah satunya dengan mengembangkan Kecamatan Nongkojajar atau Tutur sebagai kota agropolitan.
Kecamatan yang berlokasi di lereng Gunung Bromo itu memiliki potensi di sektor pertanian dan peternakan. Anggota Dewan Riset Daerah Pasuruan Hakim Jayli menyebut Nongkojajar bisa menjadi sebuah beyond city karena sektor pertanian dan peternakan cukup maju. "Potensi pertanian dan lainnya tersedia, tinggal penyempurnaan infrastruktur. Ini membutuhkan anggaran yang cukup besar," ujarnya.
Upaya mewujudkan Nongkojajar sebagai kota agropolitan sepenuhnya didukung masyarakat setempat karena daerah itu memiliki banyak produk unggulan di sektor pertanian.
"Kami senang dan mendukung rencana pemerintah. Masyarakat siap berjuang. Bahkan dengan itu mendorong masyarakat akan makin keras berbuat untuk kemajuan daerahnya," kata H Kusnan, tokoh masyarakat Nongkojajar sekaligus Ketua Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Setia Kawan.
Sekretaris KSP Setia Kawan Hariyanto menambahkan Nongkojajar merupakan pusat apel, durian, paprika, hingga bunga krisan yang diekspor ke Belanda. "Pertanian di sini dipadukan dengan peternakan sapi perah. Populasi sapi perah saat ini mencapai 18.200 ekor dengan jumlah peternak 5.500 keluarga," kata Hariyanto.
Atik Candra dan Zilan Khan, wisatawan sekaligus pedagang buah dari Jakarta, mengaku membeli apel yang langsung memetik dari kebunnya tidak dijumpai di Malang ataupun Batu. Mereka justru menemukannya di Nongkojajar.
"Apelnya lebih segar karena langsung memetik dari kebun. Harga tidak mahal jika dibandingkan dengan apel yang dijual di kios atau pasar. Untuk apel rome beauty harganya Rp10 ribu per kg, sedangkan untuk jenis lainnya di bawah Rp10 ribu per kg," ungkap Atik.
Keunggulan di sektor pertanian dan peternakan itu memiliki nilai lebih di sektor energi. Ribuan rumah di Nongkojajar memanfaatkan kotoran sapi perah menjadi biogas.
Sedikitnya 30 kampung atau sekitar 2.700 rumah tangga memanfaatkan pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Bahkan warga setempat tidak pernah panik bila listrik mati karena biogas itu juga dimanfaatkan untuk penerangan. "Satu pengolahan biogas di Nongkojajar dimanfaatkan dua rumah tangga. Warga Nongkojajar sudah menggunakan biogas sejak 2008," jelas Hariyanto.
KSP Setia Kawan menjadi mitra tiap rumah tangga yang mengolah kotoran sapi menjadi biogas, dengan bantuan kredit. Pinjaman kredit dilakukan bergilir. "Dahulu saat memulai program biogas pada 2008 hanya ada 20 peternak, sekarang sudah mencapai 1.350 peternak," terangnya.
Sisanya sekitar 4.150 peternak menunggu giliran untuk mendapatkan modal kredit.
"Penerima kredit sebagian besar disesuaikan dengan pemetaan kondisi lapangan, dengan pengelompokan dusun atau kampung. Semuanya dimusyawarahkan lebih dahulu dengan warga sehingga pemanfaatan biogas untuk tiap kampung bisa merata."
Biaya pembuatan satu pengolahan limbah biogas Rp8 juta. Biaya itu dibantu subsidi sebesar Rp2 juta. Kampung biogas tersebut akhirnya mendapatkan pengakuan internasional seperti lembaga lingkungan dari Belanda. KSP Setia Kawan Nongkojajar pun meraih Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan.
"Dari pemanfaatan biogas ini, saya bisa menghemat pengeluaran biaya untuk kebutuhan rumah tangga. Biaya untuk membeli elpiji dan membayar tagihan listrik sekitar Rp300 ribu hingga Rp400 ribu per bulan bisa ditabung karena sudah diganti dengan biogas," kata Endang Trisulawati, warga Dusun/Desa Gendo, Kecamatan Nongkojajar. (AB/N-25)