Karena diselimuti kabut asap, nelayan tradisional di Provinsi Aceh, sejak tiga hari tetakhir, berhenti beraktivitas. Hal itu berpengaruh terhadap perekonomian mereka yang mengandalkan nafkah kreuarga dari hasil tangkapan ikan.
Mereka biasanya beraktivitas di perairan laut Selat Malaka. Itu merupakan nelayan kapal kayu ukuran langsing yang hanya memiliki fasilitas sederhana dan tidak berperalatan navigasi modern.
Pantauan Media Indonesia, pada Sabtu (19/9) hingga Senin (21/9), kawasan terganggu karena kabut asap di antaranya tersebar di Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Aceh, Kota Sabang, Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireuen. Kemudian di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa.
Di Kabupaten Pidie, misalnya, sebagian nelayan harus menganggur karena tidak bisa berlayar. Jarak pandang di peraran setempat berkisar 200 hingga 300 meter. Kondisi demikian berakibat gangguan sasaran nelayan saat berlayar dan ketika hendak mencari keberadaan ikan.
Lebih parah lagi kalau berlayar ke tengah laut, mereka tidak tahu lagi lokasi di mana daratan yang seharusnya mereka pulang. Apalagi para nelayan kecil itu hanya mengandalkan pandangan mata dan berpedoman arah mata hari dan penampakan bulan.
"Biasanya berpedoman pada penampakan puncak Gunung Seulawah sebagai penunjuk arah. Kalau asap tebal, itu tidak terlihat sama sekali sehingga takut terdampar semakin jauh ke mana mana," kata Mahyuddin, nelayan di Pidie.
Kondisi hampir sama juga dialami nelayan tradisional Aceh di pesisir wilayah Sabang, Banda Aceh, Utara dan Timur Aceh. Di Pante Raja Kabupaten Pidie Jaya dan Idi Kabupaten Aceh Timur. Puluhan kapal kayu bersandar di dermaga pelabuhan ikan.
Mereka lebih memilih berlibut untuk menghindari kecelakaan di laut lepas. "Keselamatan lebih lebih utama dari segalanya. Jangan memaksa kehendak kalau kradaan tidak mengizinkan" ujar Adli Abdullah, tokoh adat laut Provinsi Aceh.(Q-1)