Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SEJUMLAH perempuan tampak sibuk di sebuah bangunan di pinggir jalan Desa Papringan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Kamis (30/8).
Ada yang tengah membatik, mewarnai maupun mengeringkan pewarnaan kain batik. Di sampingnya, ada bangunan yang digunakan sebagai kios yang menampung hasil kerajinan batik warga Papringan terutama yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Batik Pringmas.
Para pembatik memang tak hanya bekerja di 'markas' KUB Batik Pringmas. Banyak di antara perajin yang mengerjakan batik di rumah.
"Kalau saya lebih sering membatik di rumah. Itu sudah turun temurun. Saya adalah generasi ketiga setelah nenek dan ibu. Semuanya dikerjakan di rumah. Baru nanti, setelah rampung dibawa ke sini," ungkap salah satu perajin Iin Susiningsih, 41, warga Desa Papringan.
Saat ini, para perajin KUB Pringmas tengah mempersiapkan pameran. Sebab, secara informal telah ada kabar kalau perajin batik Pringmas bakal diundang panitia Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali pada Oktober mendatang.
"Kami mendapat informasi kalau nantinya batik Pringmas diajak untuk pameran di Bali pada saat pertemuan IMF-Bank Dunia. Meski belum ada kepastian undangan secara resmi, namun kami harus mempersiapkan diri. Terutama memproduksi batik-batik berkualitas tinggi," jelasnya.
Iin mengungkapkan perajin batik Pringmas juga sempat mengikuti pameran pada saat pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) serta IMF menggelar High Level Internasional Conference yang berlangsung pada 27-28 Februari 2018 lalu di Jakarta.
Pertemuan yang juga dihadiri oleh Managing Director IMF Christine Lagarde menjadi ajang pembuktian kualitas batik Pringmas dengan menggelar pameran.
Tak hanya itu, pada 2016, kami juga pameran di India. Kebetulan yang mewakili dari batik Pringmas adalah saya. Di sana, saya mempraktikkan membatik tulis. Ternyata orang asing banyak yang kagum karena membatik merupakan bagian dari seni," ungkapnya.
Bagi KUB Batik Pringmas, sebetulnya sudah tidak terlalu terkejut dengan pameran. Meski demikian, ajakan untuk pameran di pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali mendapat respons serius dari para anggota. Para perajin telah menyiapkan produk batik kelas premium. Yakni batik tulis dengan pewarna alami.
Mereka menggunakan pewarna alami dari bahan-bahan yang ada di sekitar desa. Misalnya untuk warna merah dengan memakai rendaman kayu secang, kemudian warna hujan adalah dedaunan, coklat dari kayu mahoni, kuning kehijauan dari daun ketapang dan lainnya.
Untuk membuat batik tulis dengan pewarna alami membutuhkan waktu yang cukup lama, sampai sebulan.
Ketua KUB Batik Pringmas Siyarmi menyatakan kesiapannya ketika secara informal diberitahu mengenai ajakan pameran di pertemuan internasional IMF-Bank Dunia di Bali.
"Meski belum ada undangan resmi, kami harus siap. Jelas kami senang karena Pringmas semakin dikenal oleh banyak orang terutama dari manca negara. Sementara ini, selain pameran dan ekspo, setiap 4-5 bulan sekali, kami kedatangan rombongan komunitas orang asing yang sengaja datang ke sini untuk membeli produk batik Pringmas," jelas Siyarmi.
Dia mengatakan produk batik dari Pringmas yang menjadi unggulan adalah batik tulis dengan pewarna alami.
"Harganya mencapai Rp800 ribu hingga Rp1 juta per lembarnya. Sebab, pembuatannya cukup rumit dan lama. Harganya lebih tinggi jika dibandingkan dengan batik tulis warna sintetik misalnya yang hanya Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Sejauh ini berdasarkan pengalalaman kami, orang asing lebih memilih batik tulis pewarna alami, karena lebih ramah lingkungan," ungkapnya.
Dengan pasar yang semakin terbuka, para perajin juga terimbas dampak baiknya. Jauh sebelum KUB dibentuk tahun 2013 lalu dengan pendampingkan dan bantuan dari Kantor Bank Indonesia (BI) Purwokerto, para perajin di sini hanyalah 'pengobeng' atau buruh batik.
Waktu itu, pendapatannya juga rendah, karena untuk membatik tulis maksimal hanya memperoleh Rp20 ribu per lembar. Maka dengan membentuk kelompok, kini pendapatan para perajin mengalami lonjakan. Per lembar kain yang dibatik dihargai Rp60 ribu hingga Rp70 ribu.
Pada awal pembentukan, kelompok itu hanya bermodalkan pas-pasan. Dari BI Purwokerto membantu kain yang dibatik kemudian dilelang serta ada tambahan iuran anggota Rp100 ribu. Selain itu, BI membangun gedung untuk produksi serta kios batik sebagai etalase produk batik untuk KUB Pringmas.
"Pelan tetapi pasti, para perajin mampu jalan dan pasar juga mulai terbuka. Kini omset batik sekitar Rp200 juta. Anggota juga terus bertumbuh kesejahteraannya dengan terus mengembangkan usaha yang berkelanjutan," jelas dia.
Menurut Siyarmi, kelompok yang beranggotakan 30 orang tersebut terus berinovasi untuk mengembangkan batik berkualitas. Tak hanya pada saat akan pameran semata, melainkan juga membuat stok untuk dijual sehari-hari.
"Motif yang kami kembangkan beraneka ragam. Misalnya saja, kami membuat motif Serayu yang menggambarkan Sungai Serayu. Apalagi kami bertempat tinggal di pinggiran sungai tersebut. Ada juga motif alam papringan atau bambu. Ada lagi motif tradisional atau pakem seperti Pring Sedapur, Babon Angrem atau Gajah Alas. Namun, khusus yang akan kami bawa ke pameran pertemuan IMF nantinya adalah dunia tumbuh-tumbuhan," ujarnya.
Konsultan Kantor BI Purwokerto bidang pengembangan UMKM Intan Nawangsari mengatakan kalau KUB Pringmas telah berkali-kali mengikuti pameran diajak oleh BI Purwokerto.
"Dulu pernah ke India. Kemudian pada Februari lalu sewaktu ada pertemuan High Level IMF di Jakarta juga ikut serta diundang. Waktu itu ada kurasi produk juga. Saat sekarang ada kabar informal kalau mau diundang pameran ke pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali. Tetapi memang belum ada kepastian secara resmi," katanya.
Meski demikian, dengan berbagai kegiatan pameran yang dilakukan akan lebih memicu para perajin untuk terus berkreasi menghasilkan produk berkualitas. Memang yang kini kami dorong adalah batik tulis dengan pewarna alami. Itulah yang menjadi daya tarik karena ramah lingkungan dan berkualitas tinggi.
Batik tak hanya komoditas yang bernilai seni tinggi, melainkan juga sebagai usaha yang berkelanjutan untuk menyejahterahkan para perajinnya. Narasi itulah yang diharapkan akan tersampaikan kepada para peserta pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali pada Oktober mendatang. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved