Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Dua Abad Pecah Gunung Tambora

Irana Shalindra
06/4/2015 00:00
Dua Abad Pecah Gunung Tambora
(MI/Atet Dwi Pramadia)
Pengantar:

Tanggal 11 April esok menggenapi dua ratus tahun sejak `pecah` gunung api Tambora, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Berbekal semangat akan momen dua abad letusan sang ancala, dan tentunya untuk mengamplifikasi kekayaan destinasi Nusantara kepada para pembaca, pekan lalu, Tim Adventure Media Indonesia menyusuri gunung yang telah kehilangan sepertiga ketinggiannya itu.

"Hijrat al-Nabi salla`llahu alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za, pada hari Selasa waktu subuh sehari bulan Jumadilawal, tatkala itulah Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka, gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu...''

Petikan kitab Bo` Sangaji Kai yang lamat-lamat dibacakan Siti Maryam R Salahudin, putri bungsu dari Sultan Bima terakhir, Sultan Muhammad Salahudin, di rumahnya di Kamis (2/4) siang yang berpeluh membawa ingatan saya ke beberapa hari lalu. Ketika kami, Tim Adventure Media Indonesia, berjibaku dengan cuaca amat panas dan medan ekstrem untuk menjejakkan kaki di salah satu kaldera terdalam dunia, di perut Gunung Tambora.

***
Sudah masuk waktu Isya ketika saya bersama tiga anggota tim lain tiba di Dusun Pancasila, kaki Gunung Tambora, Rabu (25/3) malam. Tubuh kami penat tertekuk empat jam lebih di mobil carteran. Untung saja jalan yang kami lalui sejak dari Bima ke Pancasila terbilang mulus.

''Jalannya sudah bagus tiga bulan ini,'' jelas Saiful Bahri, Koordinator Komunitas Pecinta Alam Tambora (K-Pata) sekaligus pemilik homestay Pondok Petualang tempat kami menginap.

Menurutnya, perbaikan jalan tersebut merupakan bagian dari persiapan perhelatan Festival Tambora Menyapa Dunia yang diadakan pemerintah daerah NTB sebagai peringatan dua ratus tahun letusan Tambora.

''Minggu depan (ini) bakal ramai di sini. Ada paling tidak dua ratus peserta jambore seni yang akan datang untuk acara festival,'' lanjut Saiful sambil menemani kami menyeruput teh hangat yang ia sajikan.

Jumlah itu di luar para pendaki umum yang juga akan datang untuk meramaikan momen istimewa Tambora. Klaim Saiful, begitu banyak yang akan bertandang sehingga empat paviliun di homestay miliknya sudah pasti tidak mencukupi. Maka, rumah para warga Dusun Pancasila pun disiapkan untuk menampung  para pengunjung.

Ya, pastinya bukan kami saja yang tergelitik untuk menyambangi Gunung Tambora. Catatan sejarah yang ia toreh memang bisa membuat siapapun penasaran dengan rupa dan kehidupan di sekitar ancala itu dewasa ini.

Mengubah dunia
Walau seolah kalah populer dengan letusan Gunung Krakatau pada 1883, para ahli menilai sesungguhnya letusan Tambora pada 1815 lah yang telah mengubah dunia. Tercatat pada level VII skala Volcanic Explosive Index (VEI), atau setingkat di bawah maksimal, intensitas letusan Tambora empat kali lebih besar dari Krakatau. Erupsi Tambora menjadi salah satu yang terkuat dalam sejarah manusia modern.

Konon, dentum letusannya terdengar hingga Sumatra Barat yang berjarak 2.000 kilometer. Sebagian sempat mengira itu adalah suara tembakan meriam, sampai-sampai Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya yang berkuasa di Jawa pada 1811-1816 menyiagakan pasukan di Yogyakarta karena mengira bakal ada serangan. Nyatanya, justru hujan abu yang datang.

Berhari-hari langit Nusantara digelayuti awan gelap sementara Tambora memuntahkan 150 ribu kilometer kubik materi vulkanik. Letusannya mereda pada medio Juli 1815.

Tidak ada kehidupan yang tersisa di sekitarnya.  Yang tertinggal hanyalah sebuah gunung yang menciut dari  4.200-an meter menjadi sekitar 2.800 meter dengan kawah raksasa menganga.

Erupsi telah menyapu tiga kerajaan yang ada di kaki-kaki gunung, yaitu Tambora, Pekat, dan Sanggar. Jumlah korban tewas, seperti diestimasi pakar sejarah Bernice de Joeng Boers, dalam tulisannya Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and its Aftermath kurang lebih 117 ribu jiwa.

Sebagian tewas akibat dampak tidak langsung dari bencana alam itu, berupa diare dan kelaparan. Panen gagal, air terpolusi, ternak dan hewan binasa. Tidak jarang, anak-anak dijual untuk ditukar dengan segantang beras.

Setahun pascaerupsi, iklim dunia berubah. Di wilayah Eropa dan Amerika, sinar matahari tidak lagi benderang. Walau saat itu belum diketahui sebabnya, abu dan gas yang ditembakkan Tambora ke stratosfer lah yang membuat sinar matahari terhalang. Musim panas yang dingin maupun musim dingin berkepanjangan melanda. The Year Without a Summer, atau Eighteen Hundred and Froze to Dead, demikian 1816 kini dikenang.

Maka, tidak ubahnya seperti nasib Sumbawa, kegagalan panen di berbagai belahan dunia terjadi. Kelaparan dan penyakit meraja, termasuk kolera. Hewan-hewan ternak mati atau terpaksa disembelih karena pemiliknya kesulitan mencari pakan ternak.

Bahkan, kekalahan perang Napoleon Bonaparte di Waterloo yang mengubah peta Eropa, disebut-sebut tidak lepas dari kondisi tersebut, walau banyak pakar meragukan cuaca menjadi faktor tunggal penyebabnya.

Di balik petaka yang terjadi, tahun tanpa musim panas tersebut juga melahirkan temuan jenius. Sepeda! Untuk menggantikan kuda yang saat itu mulai sukar, Karl Drais, seorang berkebangsaan Jerman menciptakan draisine, moda transportasi sederhana beroda dua dari bahan kayu. Cara mengendarai cikal bakal sepeda itu hanya dengan menjejakkan kaki ke tanah dan meluncur. Belum seperti sepeda zaman sekarang dengan pedal yang bisa dikayuh. Maka, kendaraan tersebut disebut pula hobby horse, alias 'kuda-kudaan'.

Muramnya cuaca dan kehidupan masyarakat di Eropa kala itu pun melatarbelakangi kelahiran literatur-literatur fenomenal. Adalah malam berbadai petir di Danau Jenewa tatkala Percy dan Marry Shelley serta Lord Byron berbagi cerita hantu di depan tungku perapian. Malam serupa yang lalu memprovokasi imajinasi Marry Shelley saat ia terbangun dari mimpi buruknya dan kemudian menciptakan tokoh legendaris Frankenstein.

Serentetan rantai dampak letusan Tambora, terutama dalam lingkup global, sempat nyaris tidak terdeteksi awam. Sebab, pada masa tersebut, komunikasi masih sebatas surat-menyurat. Butuh waktu berbulan-bulan sebelum kabar adanya amukan gunung api di Hindia Belanda –Indonesia saat itu—meruak ke dunia.

Itu berbeda halnya dengan Krakatau. Sesaat sebelum ia meletus, instrumen telegram diciptakan. Maka dalam waktu lebih singkat, beritanya segera menyebar, menjelma besar di seantero dunia.

Pancasila
Dua puluh dekade berlalu. Kini, Tambora ingin dunia kembali berpaling padanya. Maka, ia hendak menyapa, bukan dengan bencana tentu, tapi dengan memamerkan alamnya yang telah kembali elok, seni budaya, dan juga ragam kulinernya.

''Warga Pancasila sangat antusias dengan festival ini karena Tambora bisa semakin ramai,'' ujar Saiful.

Menurut dia, Dusun Pancasila sudah lama menjadi pusat Desa Tambora dan identik dengan gunung yang menaunginya karena merupakan salah satu jalur favorit para pendaki. Favorit karena pendakian via Pancasila bisa ditempuh seluruhnya dengan berjalan kaki hingga puncak gunung, kendati waktu yang dibutuhkan pun lebih lama.

Saya lantas menanyakan perihal muasal nama Dusun Pancasila, yang terkesan nasionalis. Tidak mengandung unsur kata daerah sebagaimana nama dusun atau desa lain di sana.

Dari cerita para orang tua, kisah Saiful, dulu dusun tersebut dinamai Kampung Pribadi. Sebagian warganya ialah kaum imigran dari pulau lain. Pada 1980-an awal, Gubernur NTB  Gatot Suherman menyambangi kampung tersebut untuk meresmikan panen raya kopi. Ketika diberitahu nama kampung itu, ia pun bertanya, ''Di sini ada suku apa saja?''

Warga menjawab bahwa sebagian besar ialah suku BIma, tapi tidak sedikit pula yang bersuku Jawa, Sulawesi, Bali, dan sebagainya. ''Mengetahui keragaman tersebut, sang Gubernur berujar, `Ya sudah, saya namai Pancasila saja,''' tutur Saiful. Sejak itu, dusun tersebut terus berkembang hingga kini adalah Dusun Pancasila 1 dan 2. Bahkan, selanjutnya ada pula Dusun Garuda, Dusun Sila Darma, dan Dusun Bhineka. Kelimanya tergabung dalam Desa Tambora yang didefinitifkan di1997.

Pria yang dulunya kerap memandu pendakian ke Tambora itu kemudian menanyakan waktu. Saat saya jawab, sudah pukul 10, ia menyarankan kami beristirahat untuk persiapan pendakian esok.

''Kalau Tambora artinya apa?'' kejar saya sebelum ia beranjak dari teras paviliun. ''Ajakan untuk menghilang,'' sahutnya sambil tersenyum.

(Anwar Surachman/Briyanbodo Hendro/Irana Shalindra/Yusuf Riaman)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya