Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Sama-Sama Memikul Beban di Desa Adat Wolotopo

Satria Sakti Utama
12/6/2018 23:00
Sama-Sama Memikul Beban di Desa Adat Wolotopo
(MI/PALCE AMALO)

DARI Kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, saya menuju Wolotopo, sebuah lokasi wisata populer yang dibangun sekitar setengah abad lalu, akhir pekan lalu. Wolotopo ialah satu-satunya kampung yang masih ada tersisa di daerah itu.

Jarak dari Kota Ende menuju Desa Wolotopo Timur, Kecamatan Ndona, sekitar 9 kilometer dengan menyusuri pesisir pantai. Kampung adat itu terletak di lereng bukit, sedangkan di lembah terdapat perkampungan penduduk desa. Satu komunitas ini bernama Ulayat Adat Wolotopo.

Di lereng bukit itu, nenek moyang penduduk Wolotopo menyusun batu, menumpuk bertambah tinggi, hingga terbentuk fondasi sebelum membangun rumah. “Usia batu-batu ini ratusan tahun tetapi tidak longsor. Bahkan pada tsunami Flores 1991, batu-batu tidak bergeser,” kata Mosalaka (tua adat) Wolotopo, Bernadus Dei kepada Media Indonesia.

Dia ialah keturunan ke delapan penghuni kampung Wolotopo. Ada dua rumah adat yang dibangun di atas fondasi tersebut, yakni Sa’o Ata Laki (rumah induk) dan Sa’o Atarobo (rumah adat suku Atarobo) yang di dalamnya disimpan gading dan peralatan upacara. Sebenarnya ada empat rumah adat, tetapi dua di antaranya hilang tergerus zaman, yakni Sa’o Sue dan Sa’o Taringgi.

Keturunan suku-suku di Wolotopo bergabung di dua rumah adat itu. Di Sa’o Sue tinggal dua suku, dan di Sa’o Tarobo dihuni empat suku.

Walau serumah, setiap suku memasak makanan sendiri-sendiri. Namun, mereka tidak dilarang menyentuh peralatan upacara. “Orang yang melanggar akan sakit dan tidak bisa disembuhkan walaupun sudah dibawa ke dokter. Yang sakit harus dibawa kembali ke dalam rumah untuk dilakukan upacara adat dengan sesaji. Penyakit akan dipulihkan,” ungkap Bernadus De’i.

Untuk menghormati leluhur, suku-suku yang tinggal di rumah adat secara berkala menggelar upacara adat. Mulai upacara pernikahan, penobatan mosalaki, pembangunan rumah adat, upacara kematian, dan  menyembuhkan orang sakit. “Upacara adat di sini menjadi daya tarik wisatawan asing dan lokal,” ujarnya.

Kehidupan suku-suku di Wolotopo itu kental dengan sistem kekerabatan. Mereka teguh menjalankan budaya tolong-menolong dan musyawarah. Seperti ketika salah satu keturunan suku pergi menuntut ilmu, seluruh anggota suku berkumpul membahas biaya pendidikan sang anak. Begitu pula jika ada anggota suku yang akan menikah, biaya pernikahan ditanggung bersama. “Istilahnya sama-sama memikul beban,” tegasnya.

Sayangnya, kawasan wisata ini belum didukung dengan infrastruktur jalan. Kepala Dinas Pariwisata NTT, Marius Ardu Jelamu  mengakui infrastruktur jalan menuju desa minim. “Jika sepanjang jalan setapak tersedia lampu dan di sisi kiri kanan dilengkapi pembatas, keamanan pengunjung terjamin,” kata Marianus. (Palce Amalo/N-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya