Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
CAHAYA lampu teater di pelataran Gereja Paroki St Arnoldus Jansen Waikomo, Kelurahan Lewoleba Barat, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, malam itu menampilkan nuansa merah. Tiga sosok manusia bertelanjang dada dari grup Teater Sasado duduk menghadap batu yang tergeletak di tanah.
Mereka mengenakan kain sarung atau kewodu dalam bahasa Lamaholot. Salah satunya mengenakan ikat kepala. Rupanya pria itu ialah kepala suku yang didampingi tukang tuang being dan pemegang sesaji. Para petinggi dalam suku itu dikelilingi beberapa hulu balang yang menggenggam parang, tombak, dan busur.
Dalam posisi duduk bersila, pria berikat kepala yang rupanya sang kepala suku merapalkan sebaris kalimat bernada syukur dan meminta berkat dari Ama Lera Wulan dan Ina Tana Ekan. Masyarakat adat Lamaholot percaya Ama Lerawulan dan Ina Tana Ekan ialah sosok yang kemudian diidentifikasi agama yang datang belakangan sebagai Tuhan.
Sejurus kemudian, kepala suku mulai menuangkan arak. Sesajian lain pun diletakkan ke atas batu itu yang disebut Nubanara. Ritual itu disebut Bao Lolong. Seusai menyiramkan beberapa tetes arak ke atas Nubanara, mereka pun menenggak arak simbol persaudaraan dan kedamaian bersama para leluhur.
Masih di tempat yang sama, grup teater itu menampilkan ibu-ibu sedang memasak arak secara tradisional dengan bahan baku tuak putih, yang dimasukkan ke tembikar. Perlahan-lahan arak mulai disuling dan dimasukkan ke kendi. Kemudian kendi berisi arak diserahkan kepada para lelaki. Arak tersebut ialah simbol pemersatu alam, manusia, dan sosok yang tidak kelihatan. Tuak tersebut menjadi media utama saat ritual adat itu digelar. Itulah serangkaian penampilan Teater Sasado dari Seminari San Dominggo Hokeng pimpinan Romo Inno Kotan, yang mementaskan teater berjudul Api Air Api.
Romo Inno Kotan menjelaskan pentas teater itu menampilkan tema tradisi pembuatan arak dan upacara adat dengan arak yang dilakukan masyarakat adat Lamaholot yang tersebar di wilayah Flores bagian timur, Lembata, Adonara, Solor, dan Alor.
"Tuak dan arak memiliki nilai sakral dalam budaya Lamaholot, tapi disalahgunakan untuk mabuk-mabukan," tutur Romo Inno pekan lalu di sela-sela pementasan Teater Sasado.
Romo Inno menambahkan, tuak dan arak merupakan sarana bagi warga Lamaholot untuk memuja wujud tertinggi, Ama Lera Wulan dan Ina Tanah Ekan (Tuhan). Hal itu dilakukan di Nubanara maupun dalam ritual baololon (tuang tuak). "Kita perlu menjaga budaya dengan pementasan teater ini. Tujuannya agar tuak atau arak ini tidak disalahgunakan. Kembalikan makna agar tidak terus disalahgunakan melalui pentas teater ini," ucap Romo Ino Koten.
Apalagi, pembuat tuak ialah kaum perempuan. Apabila arak disalahgunakan, itu akan menyakiti perempuan. Ia berharap dengan pertunjukan ini, masyarakat bisa memaknai penggunaan arak yang sebenarnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved