Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
ASOSIASI Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) mengeluhkan tingginya pajak dan pungutan ekspor cangkang sawit yang mencapai US$17 per ton. Akibatnya, hanya tersisa empat eksportir cangkang sawit dari puluhan perusahaan yang sebelumnya aktif mengikuti bisnis ekspor cangkang sawit tersebut.
"Anggota asosiasi ada 35, tapi yang dulu aktif mengekspor ada 8-10 perusahaan. Sejak pajak US$17 dolar tinggal empat perusahaan yang masih mengekspor saat ini," ungkap Ketua Umum Apcasi, Dikki Akhmar, kepada Media Indonesia di sela-sela Rakornas Apcasi 2018, di Pekanbaru, Kamis (19/4).
Dikki menjelaskan empat perusahaan yang tersisa itu berada di Jambi, Padang, dan dua di Riau. Apacasi sedang mengusahakan langkah untuk melobi pemerintah agar menurunkan pajak tersebut karena dinilai tidak masuk akal mengingat komoditi itu merupakan limbah.
"Ini kan limbah jangan samakan dengan produk turunan sawit lainnya seperti kernel dan CPO," tukas Dikki.
Ia memaparkan, sejak periode Mei-Juni 2015, Pemerintah menetapkan pajak bea keluar (BK) cangkang sawit sebesar 20%, tetapi hasil negosiasi Apcasi nilai tersebut turun menjadi 12% dengan beberapa catatan, yakni mulai 2016 cangkang dikenakan pungutan sawit yang disetor ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun pada 2016, dana pungutan sawit dari US$3 meningkat jadi US$8 per ton dan pada Maret 2018 naik lagi menjadi US$10 per ton. Dan saat ini, total pajak dan pungutan yang dikenakan untuk komoditi tersebut mencapai US$17 per ton.
"Sedangkan kita jual US$79 per ton ada margin tipis US$2-3, negara ambil US$17. Hampir semua pabrik kelapa sawit sangat terpengaruh seperti di Riau, Kalimantan, Sulawesi, Padang, Bengkulu, cangkang sawit banyak sekali di pabrik dan jadi persoalan limbah bagi mereka. Kita tak bisa banyak ekspor, pembeli tak ada dengan harga semahal itu," jelasnya.
Apcasi saat ini tengah mengajukan lagi supaya pemerintah merevisi besaran pajak untuk cangkang terutama mekanisme penghitungannya yang selama ini berpatokan pada harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
"Tak masuk akal, harga pajak bergantung pada harga CPO jadi kalau harga CPO internasional naik, maka pajak naik. Padahal, cangkang ini kan limbah. Harga cangkang tidak berubah di pasar," ujarnya.
Ia menilai, anggapan Pemerintah meningkatkan pajak untuk cangkang demi melindungi kebutuhan bioenergi nasional sangat tidak relevan. Sebabnya, Dikki mengatakan ekspor cangkang dilakukan terhadap stok yang tidak tertampung lagi di pabrik-pabrik dalam negeri sebagai bioenergi.
Dari estimasi produksi cangkang nasional yang sekitar 7-8 juta ton per tahun, ekspor cangkang hanya 15% atau sekitar 1,5 juta ton saja karena selebihnya digunakan untuk sumber bioenergi pengganti batu bara di pabrik-pabrik kelapa sawit.
"Potensi ekspor cangkang ini sangat besar. Selain Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan, saat ini Jepang membutuhkan cangkang sawit untuk 35 pembangkit listriknya. Sebab pembangkit nuklirnya sudah hancur. Permintaan Jepang ini bisa mencapai sebanyak 20 ton per tahun. Itu tentu buat kita karena Indonesia sawit terbesar di dunia," ungkapnya.
Sementara itu, eksportir cangkang dari PT Radic, Taufik Darmawan, mengatakan, pihaknya terpaksa masih mengekspor cangkang karena telanjur terikat kontrak dengan perusahaan di Thailand. Meski begitu, volume ekspor dikurangi dari biasanya bisa menampung 20 ribu ton jadi tinggal 7.000 ton saja.
"Kita tetap ekspor walau ada marjin, tapi sangat tipis dan bisa habis terkena overhead (biaya tak langsung) dari produksi," kata Taufik. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved