Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Mengajari Anak Tunarungu Percaya Diri

(Tosiani/N-3)
18/10/2017 01:45
Mengajari Anak Tunarungu Percaya Diri
(MI/ROMMY PUJIANTO)

DENGAN bahasa isyarat, belasan anak mencoba berkomunikasi dengan teman lainnya, di ruang kumpul di Rumah Tunarungu Abata, Longkungan Mungseng, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (4/10) siang. Mereka berlarian ke sana kemari, dan sesekali terdengar suara terbata-bata saat bercakap-cakap. Ela Efiani, 20, satu dari sembilan pendamping anak-anak tunarungu, menggunakan isyarat tangan dan mengeja kata untuk untuk memanggil dan mengumpulkan mereka untuk belajar. Pendamping tersebut kemudian mengeja kata sembari memberikan isyarat agar anak-anak segera menuju ke meja belajar. Tiap meja belajar telah ditempeli foto dan nama tiap-tiap anak.

Sembari terus memberikan isyarat, Ela menanyakan kabar anak-anak dan menyampaikan salam dengan cara melakukan kontak mata pada mereka dari arah depan. Tujuannya agar anak-anak mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan. Dengan suara terbata, anak-anak mengeja kata-kata untuk menjawab ka-bar-ba-ik, dan menjawab salam. Bagian selanjutnya, Ela meminta anak-anak secara bergantian menuliskan nama dan alamat tinggalnya di papan tulis yang ada di depan. Setelah itu, Ela mengambil gambar buah-buahan yang ditunjukkan pada anak-anak agar mereka mengeja menyebutkan nama buah-buahan itu.

Erikah,12, anak tunarungu wicara asal Temanggung mengacungkan jarinya, menawarkan diri untuk pertama mengeja. Ia lalu maju dan duduk di depan Ela. Suaranya gamang, mengambang di langit-langit mulut mengeja ‘se-mang-ka’ untuk gambar yang ditunjukan Ela. Karena belum jelas, Ela memintanya mengulang. “Belum jelas, ayo diulang lagi,” pinta Ela. Tanpa keberatan, meski terlihat sulit, Erikah mencoba mengulangi mengeja kata-katanya lagi ‘se-mang-ka’. Menjadi pendamping anak-anak tunarungu wicara menurut Ela tidaklah mudah. “Ini tidak mudah, saya juga cuma lulusan SMK, tidak punya pengalaman menghadapi anak-anak tunarungu yang sangat aktif bergerak. Awalnya, tidak berkomunikasi, dan tidak mudah mengetahui apa yang mereka mau, mereka ingin. Tapi saya mencoba belajar memahami,”tutur Ela.

Ia pun pernah dipukul anak asuhnya. Pada kesempatan sama, Kepala Sekolah Abata, Muchlisin mengatakan ada 17 anak tunarungu wicara berusia antara 4-12 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin, dan sebagian ada yang sudah tidak memiliki orang tua. “Anak-anak ini datang dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Purwokerto, Wonosobo, dan Temanggung. Di sini mereka dididik kemampuan berkata-kata, diajari supaya mandiri, dan tumbuh rasa percaya diri,”ujar Muchlisin. (Tosiani/N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya