Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
MENGHILANGNYA buku teks pelajaran di sekolah hingga lebih dari satu bulan sejak awal tahun pelajaran 2017/2018 ini dinilai sebagai kelalaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyusun aturan terkait perbukuan.
Penilaian ini disampaikan Pendidikan untuk Indonesia (Pundi), lembaga masyarakat yang peduli pendidikan nasional dan berbasis di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (10/8).
"Permasalahan buku ini tidak banyak menyita perhatian dari orangtua. Padahal, sebagai penunjang utama pendidikan, untuk anggaran penyediaan buku bisa mencapai Rp600.000-Rp1 juta per tahunnya," kata Direktur Pundi, Iman Sumarlan, di Bantul, DIY.
Menurut Imran, kekosongan buku teks pelajaran ini disebabkan bergantinya konsep penyediaan buku sekolah oleh Kemendikbud. Kebijakan sebelumnya, penyediaan buku didapat orangtua dan sekolah melalui e-katalog dari penerbit yang sudah terverifikasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) di tiap-tiap daerah. Bahkan, dalam e-katalog tersebut lengkap dengan harga eceran tertinggi.
Namun, ungkapnya, sejak 2 Agustus lalu, Kemendikbud menggantinya dengan sistem buku sekolah elektronik. Sekolah, katanya, memperoleh daftar dalam format digital dan proses perbanyak diserahkan ke sekolah masing-masing.
Menurut pandangan Pundi, proses memperbanyak ini lah terjadi kerawanan tindak korupsi dan pelibatan penerbit swasta.
"Buku yang diperoleh siswa akan menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan dana BOS," katanya.
Iman menunjukkan buku yang sebelumnya dijual dengan harga Rp16.000 menjadi seharga Rp36.000 dengan kualitas fotokopi. Meski Kemendikbud menyiapkan materi untuk diunduh gratis sekolah maupun siswa di www.buku.kemdikbud.go.id, tetapi pada kenyataannya jauh memenuhi harapan.
Menurut dia, hal ini karena kelalaian Kemendikbud karena tidak mengantisipasi pergantian konsep buku teks pelajaran.
Iman juga menilai, seharusnya e-katalog buku teks pelajaran melalui LKPP tetap dipertahankan dan jika ada kekurangan seperti kurangnya penerbit di daerah maupun format digital, itu lah yang seharusnya dibenahi.
Sementara itu, Kepala Divisi Ekonomi Sosial Budaya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Epri Wahyudi, meminta kepada orangtua yang memiliki anak yang masih bersekolah untuk aktif menanyakan hal ini kepada sekolah maupun dinas.
"Jika nantinya tidak ada jawaban yang memuaskan, orangtua melalui lembaga yang dituju bisa melakukan internal interview maupun judicial review terhadap keputusan Kemendikbud," katanya. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved