Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KETERSEDIAAN garam di Tanah Air kembali menipis. Pasalnya, dari kebutuhan 6 juta ton garam setiap tahun, stok yang ada pada semester pertama tahun ini hanya setengahnya dan belum ada lagi penambahan hingga saat ini.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara, saat ini stok garam dalam negeri terus menipis. Tingginya kebutuhan belum bisa diimbangi oleh produksi dalam negeri yang baru bisa mencapai 1,8 juta ton per tahun.
Selain mengancam ketersediaan garam bagi masyarakat, kata dia, kondisi itu mengancam keberlangsungan sejumlah industri di dalam negeri yang menjadikan garam sebagai salah satu bahan baku utama.
Dia menyontohkan, industri farmasi di Tanah Air terancam kekurangan bahan baku karena garam menjadi komponen utama. Selain itu, industri aneka pangan pun terancam tak berproduksi lantaran tidak adanya bahan baku.
Dia mengatakan, kebutuhan garam rumah tangga dalam negeri mencapai 750 ribu ton per tahun. Kebutuhan akan garam ini ditambah dengan sektor industri seperti CAP dan kertas sebanyak 2 juta ton per tahun, serta aneka pangan yang juga mencapai 2 juta ton per tahun.
Tak hanya itu, industri perikanan pun menjerit karena tidak bisa mengawetkan ikan hasil tangkapan dalam waktu yang biasa.
"Kemarin ada laporan, di Cirebon dan Indramayu ada dua ton ikan busuk karena tidak ada garam untuk pendinginan yang mengawetkan," kata Cucu di Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/7).
Bukan cuma itu, lanjut dia, terdapat 76 industri kecil menengah di Jawa Barat yang menghentikan produksi karena ketiadaan garam yang merupakan bahan baku utama.
"Rata-rata IKM 50 tenaga kerjanya. Berarti ada 3.500 warga yang kehilangan mata pencaharian," ujarnya.
Padahal, kata Cucu, nilai devisa dari industri yang menggunakan garam cukup besar, yakni US$20 miliar per tahun. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mencari jalan keluar atas minimnya stok garam ini.
"Ini berbahaya kalau dibiarkan," katanya seraya menyebut hal ini terjadi karena belum maksimalnya produksi garam dalam negeri.
Salah satu pelaku industri farmasi, Arthur Tanujaya, mengatakan, farmasi sangat bergantung pada garam yang merupakan bahan baku. Terlebih, kata Arthur, garam yang diperlukan industri farmasi memiliki spesifikasi yang khusus.
Dia menyebut, garam pada farmasi paling banyak digunakan untuk pembuatan cairan infus dan HD liquid untuk pencucian darah.
"Saat ini jumlahnya terus berkurang, karena produksinya juga berkurang gara-gara tak ada bahan baku," katanya.
Dia menuturkan, pada awal tahun ini, industri farmasi hanya memiliki garam yang cukup untuk enam bulan produksi.
"Padahal biasanya mereka punya stok garam untuk satu tahun. Jadi sekarang farmasi sudah menjerit," ujarnya.
Dia mengatakan, kebutuhan garam untuk industri farmasi mencapai 3 ribu ton setiap tahunnya.
"Kami berharap pemerintah bisa segera mencari solusinya," kata dia. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved