Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Belajar Toleransi ala Wihara Pamekasan

09/6/2017 06:00
Belajar Toleransi ala Wihara Pamekasan
(MI/MOHAMMAD GHAZI)

WIHARA Avalokitesvara yang terletak di Desa Polagan, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Jawa Timur, merupakan wihara tridharma terbesar di Pulau Madura.

Wihara itu juga sudah ratusan tahun hadir di tengah permukiman muslim di Kampung Candi.

Umat tridharma (Buddha, Hindu, dan Konghucu) kerap menggelar upacara keagamaan di wihara itu. Itu termasuk saat umat Buddha se-Indonesia merayakan Dewi Kwan Im mencapai kesempurnaan pada 21 Juli 2016.

Selain itu, di kompleks itu terdapat Musala Baitul Muttaqin yang berdiri di depan pagar wihara dan sebuah bangunan gereja yang berada di sisi timur wihara.

Itu berdekatan dengan tempat pergelaran seni dan gedung olahraga.

Di dalam musala, terdapat sajadah terhampar rapi dan bersih. Padahal, tidak terlihat kegiatan di musala itu.

"Petugas kebersihan wihara juga bertugas membersihkan dan merawat musala dan gereja itu," jelas pengelola wihara, Kosala.

Kosala menjelaskan keberadaan musala dan gereja bertujuan mempermudah keluarga dan kerabat warga wihara yang beragama Islam dan Kristen.

Itu juga mempermudah pengunjung wihara saat beribadah.

"Banyak keluarga warga dan pengunjung wihara yang beragama Islam maupun Kristen. Karenanya, kami menyediakan fasilitas tempat ibadah bagi mereka," kata Kosala.

Dia memaparkan wihara di dekat objek wisata Pantai Tapak Siring, sekitar 14 km ke arah timur Pamekasan, berawal sekitar periode 1400, yakni di era Kerajaan Majapahit.

Kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia pada 1293-1500 itu hendak membantu Keraton Jamburingin (Proppo, Pamekasan) membangun candi sebagai tempat ibadah.

Pihak kerajaan kemudian mengirimkan berbagai perlengkapan, termasuk beragam patung.

Hanya saja, pengiriman ke lokasi candi terkendala oleh moda transportasi yang rusak.

Walhasil, penguasa keraton memutuskan membangun candi di sekitar Pelabuhan Talang.

Namun, rencana itu tetap gagal terlaksana.

Patung-patung kiriman Majapahit terbengkalai hingga tertimbun oleh tanah.

Pada 1800-an, pemerintah Hindia Belanda menugasi Bupati Pamekasan Raden Abdul Latif Palgunadi alias Panembahan Mangkuadiningrat I (1804-1842) untuk memindahkan patung yang ditemukan seorang petani ke kadipaten.

Namun, upaya tersebut gagal hingga akhirnya patung-patung itu dibiarkan di tempat ditemukan.

Akhirnya seorang warga membeli ladang dan mendapati patung itu.

Dari temuan itu didapati patung Buddha yang terbengkalai yang merupakan versi kisah Mahayana.

Patung itu dikumpulkan di sebuah bangunan yang kini menjadi Wihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong).

Salah satu patung berukuran besar di wihara itu ialah patung Avalokitesvara Bodhisarva versi Majapahit yang aslinya bernama Kwan Im Po Sat setinggi 155 sentimeter.

"Sampai sekarang, wihara ini tetap berdiri dan tidak pernah ada gangguan apa pun," jelas Kosala.

Ia memaparkan juga pihak wihara melibatkan pemuda Desa Polagan sebagai pengurus dan pelaksana beragam kegiatan wihara. (Mohammad Ghazi/N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya