Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DUA kubu yang berkonflik secara internal di Keraton Surakarta akhirnya sepakat untuk duduk bersama dalam pelaksanaan peringatan naik takhta atau tingalan jumenengandalem Raja Pakoe Boewono XIII, yang akan digelar pada 22 April mendatang di Bangsal Sasana Sewaka Keraton Surakarta.
"Tadi (dalam rapat) sudah disepakati, Jumenengandalem bisa berlangsung, ayo kita dukung. Dan setelah itu, baru dibicarakan hal-hal lainnya," ujar Ketua Lembaga Hukum Keraton Surakarta, KP Edy Wirabhumi, seusai mengikuti rapat dengan seluruh putradalem mendiang Sinuhun PB XII yang difasilitasi oleh Wantimpres Subagyo HS di Restoran Diamond, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (15/4) sore.
Sebelum proses rapat mediasi berlangsung, GPH Surya Wicaksono yang akrab dipanggil Mas Nenok sempat pesimistis dengan hasil pertemuan tersebut. Ia bahkan tidak bersedia masuk mengikuti rapat, lantaran keberatan dengan kehadiran KP Edy Wirabhumi, yang meski bagian dari Dewan Adat tetapi bukan merupakan puteradalem PB XII.
Nenok pesimistis bahwa rapat mediasi yang juga tidak dihadiri Sinuhun PB XIII sebagai putera tertua mendiang PB XII bakal berhasil membuahkan kesepakatan.
"Kemungkinan deadlock," imbuh Nenok saat dikerubungi wartawan di depan ruang rapat mediasi di Diamond.
Ia bahkan meminta agar aparat penegak hukum segera menindaklanjuti laporan tentang persoalan dokumen palsu untuk pemberian gelar yang dibuat oleh Lembaga Dewan Adat.
"Ya sebaiknya segera ditindaklanjuti dan sehingga segera ada tersangkanya," tegas Nenok sekali lagi.
Terkait dengan pernyataan Nenok itu sendiri, Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Djarod Padakova yang mengikuti proses penggeledahan di dalam Keraton Surakarta mengatakan bahwa polisi telah menyita stempel, perangkat komputer, mesin cetak, blangko kekancingan gelar kebangsawan.
"Itu terkait pelaporan DK terhadap terlapor KM yang diterima polisi pada 10 April lalu. Surat permohonan dalam dokumen itu nanti akan kita periksa keabsahannnya. Kita rangkai dalam berita acara penyidikan, apakah betul terjadi dugaan pemalsuan surat (pemberian gelar) itu, yang sesuai dengan pasal 263 KUHP," papar Djarod yang tidak bersedia menyebut identitas jelas pelapor berinisial DK dan terlapor KM.
Pada bagian lain, Koes Murtiyah bersama suaminya Edy Wirabhumi seusai mengikuti rapat mediasi ternyata tidak diperkenankan lagi masuk ke keraton oleh aparat keamanan yang berjaga. Sampai petang, keduanya mencoba menanti di luar pintu Magangan Keraton yang ditutup rapat dan dijaga polisi. Wirabhumi nampak mencoba tegar ketika tidak diperbolehkan masuk.
"Sementara tidak boleh masuk. Tapi kalau kemudian nanti tetap tidak boleh masuk, ya kita akan lihat proses selanjutnya," katanya pelan.
Ia mengatakan, sebagai rakyat dirinya tidak akan melakukan perlawanan apa pun, atas apa yang dialami dirinya dan istrinya selaku bagian dari Lembaga Dewan Adat tidak diperkenankan masuk keraton.
"Melawan kekuasaan, waduh, siapa yang berani. Kalau pemerintah sudah maunya begini, siapa berani melawan. Walaupun kalau dilihat dari sisi hukum, istilahnya kalau bicara salah benar belum tentu, dan kalau bicara posisi kelembagaan sebagai sebuah entitas hukum, kan ini belum dilakukan kajian. Tapi jika maunya (pemerintah) begitu, sebagai orang kecil isone opo," tukas dia.
Yang jelas, sepekan menjelang prosesi Jumenengandalem PB XIII yang ke-13 di Keraton Surakarta, kawasan benteng dipenuhi gabungan personel polisi dan TNI, dan juga sejumlah kendaraan taktis milik Polri. Polisi juga melakukan penggeledahan di dalam keraton, dan mencatat siapa pun orang yang bukan bagian dari sentanadalem atau abdidalem, untuk kemudian diklarifikasi keberadaanya. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved