Meski kerap menyebabkan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, metromini dan bus sedang lainnya masih menjadi andalan banyak warga Jakarta untuk mobilitas. Imani, 23, karyawan swasta yang bekerja di daerah Grogol, Jakarta Barat, mengakui masih mengandalkan bus sedang, baik metromini maupun Kopaja, untuk bermobilitas. Menurutnya, waktu tunggu metromini lebih cepat jika dibandingkan dengan Trans-Jakarta. Jika memakai Trans-Jakarta, waktu tempuh dari Kedoya-Glodok bisa lebih lama, bahkan hingga 1 jam. Namun, dengan menggunakan metromini, perjalanan dengan rute yang sama bisa lebih cepat sekitar 30 menit-1 jam.
"Naik metromini memang lebih cepat, tapi sayangnya, sopir Kopaja dan metromini itu sering ugal-ugalan. Sopirnya pun banyak yang anak-anak muda," ujar Imani yang tinggal di kawasan Kedoya Green Garden, Selasa (15/12). Ia pun merasakan ketersediaan bus sedang terutama pada malam hari saat ini cukup terbatas. Biasanya pada pukul 20.00 WIB, ia masih mudah menemukan bus sedang. Namun, saat ini, memasuki pukul 20.00, ia susah mendapatkan angkutan umum bus sedang. Pengalaman itu ia rasakan di area Grogol, Jakarta Barat, dan Blok M, Jakarta Selatan.
Imani berharap pemerintah segera melakukan peremajaan bus sedang seperti metromini. Pasalnya, fasilitas di dalam Kopaja atau metromini sangat minim. Misalnya jok rusak, atap bus bocor saat hujan, dan suara mesinnya yang amat bising. Terkadang, biaya yang dipatok kondektur pun tidak sesuai dengan tarif resmi. Kondektur terkadang juga menaikkan tarif sesuka hati dari tarif resmi Rp4.000 menjadi Rp5.000 per trip. Akan tetapi, itu pun masih jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan menggunakan alternatif angkutan umum seperti mikrolet atau angkot KWK.
"Metromini masih menjadi moda utama karena bisa lebih menghemat. Misalnya dari arah Grogol menuju Kedoya bisa ditempuh hanya dengan naik metromini 92 jurusan Grogol-Ciledug dengan tarif yang sama dengan angkot. Sementara itu, jika naik angkot, bisa dua kali atau tiga kali," imbuhnya. Terkait dengan keberadaan angkutan umum yang ada di Jakarta, Direktur Institut Pengembangan Kebijakan Transportasi atau Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto mengatakan Pemprov DKI sebagai pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan umum bagi warganya, sesuai amanat Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Namun yang terjadi, lanjutnya, pemerintah masih banyak absen dalam penyelenggaran angkutan umum yang andal, manusiawi, aman, dan layak bagi warganya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI pun tergolong tinggi karena tiap tahunnya hampir mencapai angka Rp70 triliun. Namun, pada tahun ini, Pemprov DKI hanya dapat mengalokasikan 1,2% dari total nilai APBD untuk kebijakan subsidi angkutan umum. "Jelas angka ini sangat kecil dan belum menunjukkan komitmen yang menyeluruh untuk menyediakan angkutan umum yang layak," ujarnya.
Yoga menilai operasional metromini, Kopaja, Kopami, mikrolet, KWK, dan Kopami dapat dengan cepat diperbaiki jika pemprov DKI bersungguh-sungguh melakukan reformasi total. Ia pun berharap di sisa masa jabatan selama 2 tahun ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bisa membawa perubahan yang signifikan bagi wajah angkutan umum Ibu Kota. "Waktu dua tahun yang masih tersisa di kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dapat digunakan untuk melakukan reformasi angkutan umum secara menyeluruh," tuturnya.