Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
KECEPATAN polisi dalam membongkar suatu kasus, pada satu sisi, sering mencengangkan.
Namun, di kesempatan lain, mereka dikritik karena lamban.
Kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan tersangka Jessica Kumala Wongso, misalnya, berjalan agak lamban.
Terhitung sejak kejadian pada 6 Januari 2016 hingga berkas dinyatakan lengkap (P-21) pada 26 Mei 2016, polisi membutuhkan waktu 4 bulan 20 hari.
Sekali pun kasus sudah dinyatakan P-21, sejumlah pihak masih meragukan bukti yang dimiliki polisi dalam menetapkan Jessica sebagai tersangka.
Itu pula sebabnya berkas perkara sempat bolak-balik sebanyak empat kali dari penyidik Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Tinggi DKI.
Sekali pun Jessica sudah dikenai vonis 20 tahun penjara, sebagian masyarakat tetap merasa penasaran karena bukti yang diajukan kepolisian tidak terlalu kuat.
Sebaliknya, masyarakat berdecak kagum ketika jajaran Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya bersama Satuan Reserse Polres Jakarta Timur dengan cepat mengungkap pelaku perampokan di rumah pengusaha Dodi Triono di Pulomas, Jakarta Timur.
Perampokan di Pulomas pada 26 Desember 2016 menyebabkan enam orang tewas dan lima luka-luka karena disekap pelaku di dalam kamar mandi yang sempit.
Selang satu hari setelah kejadian, polisi menangkap tiga pelaku: Ramlan Butar-Butar (tewas), Erwin Situmorang, serta Bernius Sinaga.
Empat hari berikutnya, Ridwan Sitorus, pelaku lain, ditangkap di Medan ketika turun dari bus yang mengangkutnya dari Jakarta.
Polisi bukan saja berhasil menangkap semua pelaku, melainkan juga menguak motif sebenarnya, yakni murni perampokan.
Ada yang menyebutkan kasus menjadi mudah karena polisi punya rekaman close circuit television (CCTV).
Namun, hal itu ditepis Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rudy Heriyanto Adi Nugroho.
"Kuncinya fokus. Kecermatan olah TKP (tempat kejadian perkara), saksi-saksi, serta pada gelar perkara," ujar Rudy, baru-baru ini.
Rudy menyoroti bagian gelar perkara.
Di bawah pimpinannya, petugas reserse harus cermat dalam proses gelar perkara untuk mengungkap serta menyelesaikan sebuah kasus.
"Berdarah-darahlah di gelar perkara. Jangan sampai berdarah-darah di pengadilan," urainya.
Ucapan itu selalu disampaikan Rudy kepada anak buahnya karena gelar perkara merupakan proses menuju penyelesaian lewat memperkuat bukti, menganalisis, dan menajamkan, agar tindak pidana tertentu tuntas sebelum diajukan kepada jaksa penuntut umum.
Rudy selalu mewajibkan kepala subdirektorat (kasubdit) untuk memaparkan gelar perkara kepadanya.
Setelah itu, ia akan memberikan catatan. Jika dinilai pantas, selanjutnya kasubdit bersangkutan dipersilakan memaparkan gelar perkara di hadapan para kasubdit, Propam, dan penyidik.
Sidang tesis
Dalam pertemuan itu, kasubdit yang memaparkan gelar perkara harus mempertanggungjawabkan gagasannya lewat satu perdebatan dalam diskusi kelompok.
"Gelar perkara itu seperti sidang tesis. Berkasnya benar-benar harus perfect."
Rudy memegang prinsip jangan sampai ada praperadilan karena kecerobohan.
Sekali pun dipraperadilankan, itu boleh-boleh saja, asalkan menang, sebab kalah di pengadilan karena penanganan kasus ialah hal memalukan.
"Memalukan lainnya jika berulang ulang berkas dikembalikan jaksa (P-19)," ucapnya.
Rudy tidak segan-segan mengganti kasubdit jika dalam pemaparan gelar perkara yang bersangkutan tidak cermat.
Filosofinya, penyidik yang berhasil dalam gelar perkara mencerminkan memiliki sistematika berpikir kuat, berwawasan luas, kreatif, dan bertindak rasional, cepat serta tepat dalam mengungkap kasus.
"Reserse itu seperti arsitek. Dalam mengkonstruksi sebuah kasus harus betul-betul paham."
Pentingnya gelar perkara diamini Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.
Menurutnya, keberhasilan penyidik dalam menuntaskan kasus dengan kecermatan gelar perkara merupakan tolok ukur profesionalisme penyidik.
Ia mencontohkan dalam penyelesaian kasus kopi sianida dengan tersangka Jessica Kumala Wongso, polisi begitu sulit dan minim soal alat bukti dalam persidangan kasus.
"Kelihatan sekali kedodorannya (penyidik). Gelar perkara harus cermat karena di situlah kekuatan penyelesaian kasus tersebut," papar Neta.
Ia juga menyoroti kasus yang belum terungkap bahkan hingga kini tidak jelas, yakni tewasnya mahasiswa Fakultas MIPA Jurusan Biologi Universitas Indonesia (UI) Akseyna Ahad Dori.
Akseyna ditemukan meninggal dalam kolam UI pada akhir Maret 2015.
"Fungsi kontrol ke polisi belum maksimal khususnya soal kasus yang belum tuntas. Jadi di situ benar-benar harus dimaksimalkan kontrolnya supaya polisi semakin profesional," tegasnya. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved