KETUA Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik kukuh pada pendiriannya untuk mengajukan hak angket kepada pimpinan DPRD. Hal itu ia lakukan terkait dengan sikap eksekutif terhadap anggota dewan.
Politikus Partai Gerindra itu menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, khususnya Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), melanggar prosedur pengesahan APBD. BPKD mengirim salinan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI 2015 ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bentuk pertama (draf 1), bukan salinan RAPBD yang telah dibahas dan disetujui bersama dalam rapat paripurna pada Januari lalu.
Menurut Taufik, seharusnya yang dikirimkan ke Kemendagri oleh pemprov ialah salinan RAPBD bentuk kedua, yaitu yang mencantumkan perubahan-perubahan hasil pembahasan dalam sidang dengan komisi di DPRD.
Karena itu, ia menilai DPRD tidak lagi dihormati sebagai lembaga legislatif yang juga berfungsi mengawal anggaran pemerintah daerah. Ia pun mengirim surat pernyataan keberatan atas salinan RAPBD yang telah diterima Kemendagri tersebut.
"Saya sebenarnya tidak paham apa maksud eksekutif mengirimkan draf 1 yang isinya konsep awal, bukan yang sudah dibahas dan digodok bersama. Kalau begitu, apa gunanya kita sidang komisi siang dan malam untuk membahas anggaran? Karena itu, saya dan rekan Banggar (Badan Anggaran) ingin mengajukan hak angket," kata Taufik dalam diskusi APBD di lobi Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (18/2).
Keberatan Taufik ditambah sikap eksekutif yang selalu menyatakan anggaran untuk transportasi melalui sistem e-budgeting, tetapi tidak membiarkan anggota dewan membahas dan mengkritisi pos-pos anggaran yang telah dimasukkan (di-input) ke sistem tersebut.
Taufik juga keberatan atas larangan terhadap anggota Banggar untuk membahas RAPBD hingga satuan ketiga atau tataran apa saja yang dibutuhkan dan besaran anggaran pelaksanaannya. Itu merupakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 PUU-XI Tahun 2013. DPRD hanya boleh membahas RAPBD hingga satuan pertama dan kedua, yakni mengenai program-program kerja. Menurutnya, larangan tersebut membuat ruang lingkup Banggar dalam pembahasan RAPBD semakin sempit.
"Mengapa kami hanya bisa membahas program? Kalau dalam sidang komisi kami menemukan angka-angka yang tidak rasional, lalu kami tidak boleh mencoretnya? Padahal, DPRD tingkat satu dan dua punya hak budgeting. Kalau begini, berarti hak-hak kami dirampas," ujarnya.
Putusan MK Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengakui pengurangan hak DPRD terjadi akibat putusan MK tersebut.
Menurut mantan Wali Kota Jakarta Pusat itu, sistem e-budgeting tidak dipersalahkan dalam kemelut tersebut. Sistem bisa langsung menolak pemasukan (input) pos-pos anggaran tidak normal yang dilakukan pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) nakal, bahkan masuknya proyek titipan dari pihak tertentu.