Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
DI tengah kencangnya tiupan angin laut, telepon seluler (ponsel) Anto, 37, salah seorang tukang perahu di dermaga Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, berdering nyaring.
Setelah selesai berbicara dengan orang yang menghubunginya, ia pun segera menyalakan mesin perahunya, kemudian meninggalkan dermaga.
Siang itu Anto kembali mendapat panggilan dari seorang anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal-kapal proyek pulau reklamasi di Teluk Jakarta.
ABK itu hendak menuju daratan Ibu Kota dan memintanya segera menjemput.
Dengan sigap, tukang perahu itu pun menuju kapal sang ABK.
Sebetulnya, laki-laki itu semula bukan pemberi jasa antar-jemput atau tukang ojek perahu, melainkan nelayan.
Ia biasa menangkap ikan di sekitar Teluk Jakarta, terutama di kawasan Muara Angke.
Namun, sejak pembangunan 17 pulau reklamasi di kawasan pantai utara (pantura) Jakarta pada 2012 berlangsung, ia mengaku ikan hasil tangkapannya berkurang, demikian juga nelayan kecil lain.
Dengan perahu berukuran panjang 5 meter dan lebar 1,5 meter, ia tidak bisa melaut terlalu jauh dari pantai.
Meski demikian, kehadiran kapal-kapal proyek reklamasi di sekitar Muara Angke menjadi sumber rezeki baru baginya.
Ia tidak perlu berlayar jauh untuk menebar jala karena 'sang ikan' datang sendiri, yakni para ABK dan pengguna jasa lain, termasuk jurnalis yang ingin meliput perkembangan pembangunan pulau hasil reklamasi.
Apalagi, kini ia telah memiliki pelanggan, bahkan nomor ponselnya telah tersebar.
Anto pun tinggal mengetem di Pelabuhan Muara Angke, menunggu panggilan.
Selama menunggu ponselnya berdering, ia hanya duduk di perahunya sambil merokok, bahkan sesekali tertidur.
Tarif yang dikenakan Anto kepada ABK rata-rata Rp100 ribu untuk rute pergi-pulang(PP), yakni menjemputnya ke kapal, mengantarkannya ke daratan, kemudian mengantarkannya kembali ke kapal.
Sementara itu, tarif yang dikenakan kepada para jurnalis lebih mahal, yakni Rp500 ribu sampai Rp1 juta untuk tujuan Pulau G yang tidak jauh dari Muara Angke dan Pulau C serta D yang berada di kawasan Pantai Indah Kapuk.
Anto mengenakan tarif lebih tinggi kepada jurnalis dengan alasan biasanya mereka menggunakan jasanya secara rombongan dan perjalanan lebih lama.
Satu kali perjalanan ke pulau-pulau reklamasi bisa menghabiskan waktu 1 hingga 2 jam karena biasanya perjalanan dilakukan dengan mengelilingi pulau dan harus berhenti saat jurnalis mengambil gambar.
"Tapi wartawan (yang menyewa) musiman dan enggak selalu ada. Cuma beberapa hari belakangan saja ramai," kata Anto, pekan lalu.
Kerap ditegur
Karena kerap memberikan jasa kepada para jurnalis, ujarnya, ia beberapa kali ditegur petugas keamanan pulau hasil reklamasi ketika perahunya berusaha mendekat.
Namun, ia dan tukang perahu lainnya tidak terlalu memedulikan teguran itu dengan alasan perahu mereka tidak merapat ke pulau.
Dengan aktivitas barunya itu, setiap hari ia bisa mengantongi penghasilan antara Rp1 juga hingga Rp1,5 juta.
Tukang perahu lainnya, Warkim, 49, mengatakan proyek reklamasi di satu sisi membuat mata pencaharian mereka sebagai nelayan berkurang.
Namun, di sisi lain ia juga bersyukur karena munculnya sumber rezeki baru yang lebih besar.
"Kalau proyeknya selesai atau dihentikan, kami mungkin balik lagi menjadi nelayan," tutur ayah tiga anak itu.
Bahkan, Salim, 40, bekas awak perahu Anto, sejak tiga bulan lalu telah mampu membeli perahu sendiri seharga Rp25 juta yang ia gunakan untuk jasa angkutan di sekiar proyek reklamasi. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved