Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Perahuku, Rumahku

13/4/2016 01:30
Perahuku, Rumahku
(MI/Panca Syurkani)

PASAR Ikan kini tinggal kenangan. Sejumlah ekskavator terus meratakan bangunan di kawasan yang menjadi rumah bagi 4.929 jiwa itu.

Di sekelilingnya, sejumlah warga menyaksikan rumah mereka yang tengah diratakan dengan tanah. Ada yang sambil duduk termenung, ada pula yang sambil berbincang meratapi nasib masing-masing.
Sebagian dari warga RW 04 di kawasan Pasar Ikan itu kini telah pindah ke Rumah Susun (Rusun) Marunda dan Rusun Rawa Bebek. Ada pula yang pindah ke rumah saudara maupun kerabatnya.

Namun, beberapa memilih tinggal di perahu milik mereka yang bersandar di dermaga sekitar Luar Batang dan Pasar Ikan. Ada sekitar 20 perahu yang kini dijadikan tempat tinggal oleh eks warga Pasar Ikan. Sebagian besar dari mereka dulunya ialah warga dari RT 01.

Basri salah satunya. Saat ditemui, ia sedang duduk termangu di kursi plastik sambil mengamati keluarga besarnya yang kini tinggal di perahu. Ya keluarga besar karena perahu itu ditempati 30 orang, termasuk anak-istrinya.

Perahu milik Basri panjangnya hanya sekitar 6 meter. Tak muat untuk menampung seluruh anggota keluarganya. Karena itu, sebagian harus mengalah dan tidur di dekat puing-puing bangunan.

“Sudah semalam tidur di perahu, sempit dan berdesakan. Kalau saya tidur di dekat puing bangunan, tuh masih ada bantal dan selimut saya,” ujarnya sambil menunjuk ke arah puing bangunan tempat ia tidur semalam.

Di atas perahu itu pula perabot rumah tangga dan barang-barang milik keluarga Basri tersimpan. Ada televisi, kulkas, kursi, pakaian, dan lain-lain sehingga membuat perahu tersebut penuh sesak.

Di perahu itu mereka beraktivitas sehari-hari seperti memasak, makan, dan tidur. Basri juga harus membeli air bersih hingga delapan galon sehari untuk memenuhi kebutuhan air minum keluarganya.

Sementara itu, untuk urusan mandi cuci kakus, mereka harus pergi ke Masjid Luar Batang atau menumpang di rumah-rumah warga yang tak digusur.
Istri dan anak-anaknya sempat menetap di Rusun Marunda. Namun, akibat jauh dari Basri, mereka kembali ke Pasar Ikan dan tinggal di perahu. “Istri saya enggak mau jauh dari saya,” ceritanya.
Selain Basri, ada pula Nurfauzi yang memilih menetap di perahu miliknya. Ia tinggal bersama istrinya yang sedang hamil 8 bulan, ketiga anaknya, serta kedua orangtuanya.

Meski telah menetap di Pasar Ikan selama 32 tahun, Nurfauzi tidak memiliki sertifikat hak milik bangunan atas rumah yang selama ini ia tinggali. Itu sebabnya, ia kini tidak bisa mengurus kepindahan keluarganya ke Rusun Marunda maupun Rusun Rawa Bebek.

Nurfauzi sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Namun, akibat penggusuran, ia belum bisa kembali melaut karena perahunya dipenuhi barang.

Mau tak mau, ia mengumpulkan besi-besi sisa reruntuhan bangunan di Pasar Ikan yang kemudian dijualnya ke pengumpul besi bekas di kawasan Muara Baru seharga Rp2.000 per kilogram. “Lumayan hasilnya bisa untuk makan besok,” ucapnya. (Nicky Aulia Widadio/J-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya