Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Di Balik Impitan Ada Peluang

08/4/2016 02:10
Di Balik Impitan Ada Peluang
(MI/Ramdani)

DERETAN gedung perkantoran di sepanjang Jl Gatot Subroto, Jl Sudirman-Thamrin, dan Jl HR Rasuna Said, Jakarta, menandakan dinamika, kemajuan, dan keglamoran Ibu Kota.

Namun, gambar tidak selalu seindah aslinya. Tidak semua yang glamor itu mampu.

Pegawai di sana butuh makan siang atau sekadar camilan dan tidak semuanya mampu makan siang di restoran atau kantin kantor yang biasanya mahal.

Hal itu menjadi peluang usaha bagi Toni, 33, Kidin, 50, Amril, 47, dan sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di kawasan tersebut.

Toni, pedagang soto ayam di Jalan Raden Patah, Blok M, Jakarta Selatan, mengaku tidak sulit mencari pembeli.

Tempat itu diapit banyak gedung perkantoran seperti Kementerian ATR, Kementerian PU-Pera, Mabes Polri, PT Telkom, dan PT PLN.

Setiap harinya, ia dan pedagang lainnya mulai berjualan sejak pukul 09.00-15.00 WIB.

Sering kali, waktu masih menunjukkan pukul 13.30 dagangannya sudah terjual habis.

"Biasanya sekitar 100-200 mangkuk per hari. Satu mangkok plus nasi Rp15 ribu," kata pria yang sudah empat tahun berjualan di tempat itu.

Toni bersykur ia bisa berjualan di sana.

Ia bisa menghidupi istri dan dua anaknya yang bersekolah di sekolah dasar.

Ia juga memiliki satu pegawai yang melayani pembeli dan mencuci piring.

Di sana juga berjejer pedagang lainnya, seperti ada yang berjualan kemeja pria, celana panjang, ikat pinggang, aksesori gadget, dompet, jas hujan, batu akik, dan buku-buku.

Pedagang batu akik di tempat itu masih terlihat ramai dikunjungi calon pembeli dari karyawan kantoran di kawasan itu.

"Ada saja yang beli tiap hari, tapi enggak tentu. Kadang satu, tapi kalau lagi banyak bisa tiga atau lima," ungkap Rudi, yang berdagang akik dua tahun terakhir.

Bergeser ke Jl Kebon Sirih dan Sabang, Jakarta Pusat, lokasi yang letaknya berimpitan dengan Jl Sudirman-Thamrin ini menjadi pilihan makan siang pegawai di sana.

Seperti di lokasi binaan (lokbin) PKL Kebon Sirih.

Di situ berjajar rapi kios-kios PKL berwarna oranye mencapai 30 kios.

Tiap pedagang menjual menu-menu yang berbeda satu sama lainnya untuk menghindari persaingan.

Menurut Kidin, pria paruh baya asal Tegal, Jawa Tengah, keberadaan pedagang di lokasi tersebut sejak 20 tahun lalu, sebelumnya dia dan PKL lain, ilegal dan tak terurus.

Kebersihan sampah pun tak diperhatikan pedagang.

Sekitar 10 tahun lalu, Kidin berkisah, Pemkot Jakarta Pusat menawarkan pendaftaran PKL resmi.

Dengan menjadi PKL resmi, setiap PKL akan mendapat satu kios yang dibangun Pemkot Jakpus di lokasi binaan yang saat ini telah berdiri.

PKL pun hanya dikenai retribusi Rp100 ribu per bulan dan selain mendapat fasilitas kios, ada petugas yang akan mengangkut sampah setiap hari.

"Murah sih di sini retribusinya Rp100 ribu. Ya anggap saja uang kebersihan dan listrik. Setornya lewat Bank DKI. Sudah tidak ada uang apa-apa lagi," ujar Kidin yang berjualan mi ayam dan mi yamin.

Letak tempat berjualan yang berada di gang kecil tapi diimpit berbagai kantor baik swasta maupun milik pemerintah membuat keuntungan yang cukup pun bisa diraihnya.

"Alhamdulillah, soalnya banyak perkantoran kan di sini. Ada DPRD, Balai Kota, Telkom, Lemhannas. Hasilnya lumayanlah buat makan anak istri dan sekolahin anak," ujarnya.

Ia menjamin menu yang dijual di lokasi binaan Kebon Sirih bebas dari bahan pengawet nonpangan.

Jika ada yang memakai pengawet boraks dan formalin bakal diusir.

"Kita susah sendiri, soalnya bisa dikerjar Satpol PP. Cari makan jadi enggak tenang," terangnya. (Wan/Put/Nel/J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya