Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
PADA era 1960-an, Pelabuhan Labuhan Haji, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, tenar sebagai tempat pemberangkatan jemaah haji.
Setelah sekian lama nama pelabuhan itu tenggelam, kini Labuhan Haji kembali menjadi buah bibir, tapi sayang bukan karena hal positif.
Nama Labuhan Haji disebut terkait dengan operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata di Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna.
Dulu, tamu-tamu Allah dari Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun daerah sekitarnya yang akan melaksanakan rukun Islam kelima menggunakan Labuhan Haji sebagai embarkasi pemberangkatan calon jemaah haji ke Tanah Suci Baitullah.
Saat itu jumlah pesawat terbang komersial masih sangat terbatas sehingga banyak yang menggunakan transportasi laut.
"Saat menunggu kedatangan kapal tujuan Timur Tengah, orangtua saya dan calon jemaah haji lain menginap dengan mendirikan tenda-tenda di pantai yang sekarang bernama Labuhan Haji," kenang M Idris, asal Lombok, pekan lalu.
Idris mengisahkan pengalaman mengantarkan kedua orangtuanya berhaji. Belum ada dermaga.
Kapal berlabuh di perairan dalam sekitar 300 meter dari bibir pantai.
Penumpang secara bergiliran diangkut memakai perahu untuk mencapai kapal.
Setiap musim haji, aktivitas pantai selalu ramai.
Satu calon jemaah bisa diantar puluhan atau ratusan kerabat.
"Karena ramainya aktivitas embarkasi haji, warga Lombok kemudian menamainya Labuhan Haji," tutur Idris.
Belanda dan Jepang juga menggunakan pelabuhan itu sebagai jalur perdagangan pada masa penjajahan.
Sisa-sisa sejarah masih banyak dijumpai di sekitar pelabuhan, tetapi tak terurus.
Labuhan Haji terletak sekitar 7 km dari Selong, Kabupaten Lombok Timur.
Kawasan itu dapat dicapai dalam waktu 2 jam dari Kota Mataram dengan menggunakan angkutan darat berupa angkle (minibus) atau bemo (sebutan warga lokal untuk angkot).
Infrastruktur jalan dari ibu kota NTB menuju pelabuhan terbilang bagus, cuma agak sempit. Jalan hanya bisa dilalui satu truk kontainer.
Kalau berpapasan, kendaraan yang satu harus menepi dengan memakan bahu jalan.
Sungguh mengherankan arus lalu lintas menuju pelabuhan sangat sepi meski pada jam sibuk pukul 06.00-09.00.
Media Indonesia seketika menyadari bahwa jantung pelabuhan tak berdenyut seperti Tanjung Priok di Jakarta, atau Tanjung Perak, Surabaya.
Revitalisasi Pelabuhan Labuhan Haji memang terbilang gagal total. Pembangunan berbekal SK Bupati Lombok Timur Nomor 188.45/302/PD/2006 tanggal 17 Oktober 2006 untuk menjadikan Labuhan Haji sebagai pelabuhan penumpang dan barang tak pernah tuntas dikerjakan.
Proyek pembangunan dermaga ditargetkan rampung 30 September 2007.
Hingga jatuh tempo, proyek yang menelan APBD Kabupaten Lombok Timur sebesar Rp82 miliar itu baru mencapai 52,998%.
Bupati Lombok Timur Ali bin Dahlan yang menggagasnya pada 2006 terpaksa melakukan adendum sebanyak lima kali hingga 2009.
Lagi-lagi perusahaan PT Citra Gading Asritama tidak menepati janji.
Proyek akhirnya dihentikan pada 2010 dalam keadaan menggantung.
Pengguna jasa pelabuhan tak tertarik berlabuh karena mendengar bangunan dermaga tidak memenuhi standar kelayakan.
Kedalaman kolam labuh yang seharusnya -7 (minus tujuh) cuma dibuat -5 (minus lima).
Empat dermaga untuk kapal penumpang antarpulau, kapal niaga, dan kapal rakyat juga tidak memenuhi standar konstruksi.
Sepanjang 2015, hanya sembilan kapal merapat dengan sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp154 juta.
Menurut Kepala Unit Pelayanan Terpadu Pelabuhan Labuhan Haji Hasibullah, PAD sangat kecil lantaran setiap bulan belum tentu ada kapal yang datang.
"Tidak menentu berapa kapal yang berlabuh. Pada 2013 hanya 3 kapal, meningkat menjadi 6 kapal pada 2014 dan 9 kapal pada 2015.
Apalagi sepanjang 2016, pelabuhan belum bisa digunakan karena akan dilakukan pengerukan kolam labuh dari minus empat (-4) menjadi minus delapan (-8)," jelas Hasibullah.
Kapal yang berlabuh pada 2015 mayoritas tongkang.
Sisanya kapal pinisi dan LCT (landing craft-tank) pengangkut batu bara kapasitas angkut 5.000 ton dengan panjang kapal 98 meter.
Karena sedikitnya kapal merapat, Hasibullah beserta 15 pegawai lain terpaksa beralih aktivitas kerja.
Mereka mengisi waktu dengan membersihkan areal pelabuhan, mulai memotong rumput hingga menata pohon yang rimbun.
"Ketimbang hanya duduk di kantor, lebih baik kami pegang cabet (celurit) dan turun ke lapangan. Yang namanya pemimpin harus memberi contoh, jangan hanya memerintah saja," terangnya. (Ardhy Winata Sitepu/T-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved