Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Kumpulan Berita DPR RI
KEPALA Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata di Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna, ditangkap, Jumat (12/2).
KPK menangkap Andri karena menerima suap dari Direktur Utama PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi.
Penyuapan terbongkar sesaat setelah penyerahan uang di Hotel Atria, Gading Serpong, Tangerang, Banten, sekitar pukul 22.30 WIB.
Dua utusan, yaitu Awang Lazuardi Embat selaku pengacara bersama supir Ichsan, ditangkap di parkiran hotel.
Saat keduanya diciduk, Andri sudah meninggalkan hotel.
Petugas mengejar dan membekuknya di San Lorenzo, Gading Serpong, Tangerang.
Petugas KPK menyita uang tunai sekitar Rp400 juta dalam pecahan Rp100 ribu rupiah serta sekoper mata uang asing sebagai barang bukti.
Uang itu diterima Andri sebagai imbalan supaya tidak menerbitkan salinan putusan kasasi atas nama terdakwa Ichsan Suaidi.
Ichsan, kelahiran Wonogiri 12 Agustus 1964, awalnya berhadapan dengan Pengadilan Negeri Mataram terkait dengan kasus korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji senilai Rp82 miliar yang didanai APBD Lombok Timur.
Dia tidak sendiri, mantan Kepala Bappeda Lombok Timur, Gaffar Ismail, serta konsultan proyek, Muhamad Zuhri, juga ikut diseret ke meja hijau.
Ichsan dijebloskan jaksa ke penjara pada 20 Februari 2014.
Delapan hari kemudian, utusannya mendatangi Kejaksaan Tinggi NTB dan menyerahkan uang sebesar Rp8,92 miliar yang dimuat dalam dua koper besar.
Ganjarannya, Ichsan minta dibebaskan dari hotel prodeo dengan status tahanan kota.
Namun, keinginan Ichsan kandas.
Pada 11 April 2014, tim kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kejati NTB.
Uang senilai Rp8,92 miliar yang diserahkan kepada Kejati, menurut tim kuasa hukum Ichsan, merupakan jaminan agar kliennya dikenai status tahanan kota.
Namun, Kejati NTB menyita uang itu sebagai kerugian negara dan menolak memberikan status tahanan kota.
Praperadilan penggugat ditolak.
Proses hukum terhadap Ichsan mulai bergulir di PN Mataram sejak 27 Juni 2014.
Majelis hakim yang diketuai Sutarno dan beranggotakan Edward Samosir dan Moh Idris M Amin kemudian menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara pada 13 September 2014.
Rendahnya putusan majelis sempat menjadi sorotan di Lombok.
Anggota hakim Edward Samosir berkilah penetapan vonis 1,5 tahun itu berdasarkan pertimbangkan matang, khususnya dari keterangan tim ahli teknik Universitas Mataram, hasil audit investigasi BPKP, pemantauan langsung ke lapangan, serta tuntutan jaksa.
Berdasarkan audit investigasi BPKP, kerugian negara hanya sekitar Rp4,4 miliar.
Selain itu, majelis tidak bisa menerapkan vonis berat lantaran penuntut umum hanya menjerat dengan pidana dua tahun.
"Karena itu, kami menjatuhkan vonis yang sama kepada terdakwa Ichsan, Gafar, dan Idris, yakni masing-masing 1 tahun 6 bulan," tukasnya.
Meski masyarakat menganggap vonis itu terlalu ringan, sebaliknya Ichsan yang menjalani hukuman sejak 13 Juni 2014 menganggap putusan itu sangat berat sehingga ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB.
Saat proses pengajuan banding berlangsung, terjadi hal mengejutkan yang melukai rasa keadilan warga NTB.
Tahanan kota
Status Dirut PT Citra Gading Asritama itu tiba-tiba dialihkan menjadi tahanan kota terhitung 15 September 2014.
Hadiah istimewa itu diduga didapat karena ada intervensi dari seorang anggota DPR yang sekaligus menjamin Ichsan tidak akan kabur.
Kepala Kejati NTB Martono menepis keterlibatan anggota dewan dalam pemberian status tahanan kota.
Perubahan status Ichsan menjadi tahanan kota, katanya, disebabkan terpidana dalam keadaan sakit dan membutuhkan pengobatan intensif.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi NTB menjatuhkan vonis dua kali lipat menjadi tiga tahun dan meminta Ichsan ditahan terhitung 18 November 2014.
Ternyata Ichsan tidak ditahan.
Dia kembali melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan kasasi.
Memori kasasi diajukan Januari 2015.
Kendati hadiah masa tahanan kota telah berakhir 12 Agustus 2015, tidak ada yang mengeksekusi terdakwa untuk dijebloskan ke penjara.
Dasar nasib lagi sial.
Majelis agung yang diketuai Artidjo Alkostar dan beranggotakan MS Lumme dan Krisna Harahap juga menambah hukuman Ichsan menjadi lima tahun pada 9 September 2015.
Adanya mafia peradilan bermain dalam kasus Ichsan terbongkar ketika terpidana yang seharusnya mendekam di dalam penjara itu malah berkeliaran di Jakarta. Dia ditangkap setelah pengacara dan sopirnya menyuap Andri Tristianto Sutrisna.
Motif penyuapan ialah Andri mengatur orang MA agar tidak menerbitkan salinan putusan vonis MA atau setidaknya menunda itu.
Dengan demikian, dia tetap bisa bebas menghirup udara segar dan tidak akan diusik aparatur hukum di NTB.
Apa yang ditakutkan Ichsan ternyata yang terjadi.
Dia malah lebih cepat masuk bui karena saat pembayaran uang jasa terhadap orang MA, KPK bertindak.
Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan KPK, Priharsa Nugraha, yakin tersangka Andri tidak bermain sendiri.
Sebab, itu bukan kewenangan yang bersangkutan untuk menerbitkan salinan putusan pidana.
"Kami sedang menggali siapa yang berwenang," jelasnya.
Ketua Komisi Yudisial Maradaman Harahap juga meyakini tersangka Andri tidak bermain sendiri.
"Pasti ada mata rantainya. Waktu saya jadi pengawas panitera pun banyak yang main, saya tahu triknya. Mereka kadang menjual nama hakim," ungkapnya.
Ia melihat pengawas internal MA memiliki kelemahan sehingga mudah dikendalikan atau diintervensi.
"Apalagi jumlah pengawas sangat sedikit dan potensi suap sangat besar. Panitera paling berpotensi melakukan penyelewengan karena mereka pegang semua berkas. Tapi tidak menutup kemungkinan ada pihak lain juga," tandasnya.
Untuk mencegah kasus terulang, anggota Komisi III Asrul Sani meminta organisasi MA direformasi, terutama fungsi pendukung dalam Perpres No 13/2005 tentang Sekretariat Mahkamah Agung yang menjadi celah praktik broker hukum.
Menurutnya, fungsi sekretariat terlalu luas.
Seharusnya hanya fungsi pendukung, tapi nyatanya menjalankan fungsi yudisial, bahkan dapat memengaruhi kebijakan Ketua MA.
Di pihak lain, badan pengawas sebagai pengontrol internal tidak melakukan fungsinya dan tidak melakukan audit kepatuhan. Badan pengawas hanya berfungsi setelah ada kejadian.
Sepak terjang Ichsan Suaidi yang tidak rela dipenjara telah menghitamkan wajah MA.
Kini pengusaha kontraktor itu harus berhadapan dengan dakwaan baru selaku pemberi suap.
Ancaman hukumannya tidak terlalu berat, cuma maksimum lima tahun penjara. (Ami/Ard/Mhk/T-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved